ARUS UTAMA PEMBANGUNAN PERDESAAN DAN TATA KELOLA PERTANIAN DALAM ARTI LUAS : SKENARIO PENYELAMATAN DESA DAN SEKTOR PERTANIAN DARI DAMPAK KRISIS GLOBAL
Jellyjuice Column
"A slice of thought with Indonesia topping and jellyjuice sauce, spicy yet releasing!"
Umihanik a.k.a Jellyjuice
Chat Corner
Paper Collections
Also available at : Virtual Mate
Previous Post Credit
My Engine : Blogger
|
Monday, March 09, 2009ARUS UTAMA PEMBANGUNAN PERDESAAN DAN TATA KELOLA PERTANIAN DALAM ARTI LUAS : SKENARIO PENYELAMATAN DESA DAN SEKTOR PERTANIAN DARI DAMPAK KRISIS GLOBAL
Kondisi ekonomi global dewasa ini nampak murung dan kurang menguntungkan. Krisis sebagai penyebab tidak saja meruntuhkan sendi-sendi perekonomian Amerika, namun telah menjalar ke negara maju lainnya, serta telah berimbas pula ke berbagai negara di dunia. Krisis telah menyebabkan kerugian besar di berbagai Negara termasuk Indonesia. Namun berbagai langkah antisipasi dan instrumen penanganan yang dilakukan oleh pemerintah nampak berat sebelah. Hal ini ditunjukkan dengan postur fiskal yang diajukan akhir tahun lalu dan paket stimulus yang baru saja disetujui oleh DPR menjelang masa penutupan sidang kemarin.
Para pakar tak henti-hentinya berujar diberbagai media baik televisi maupun koran bahwa wilayah pedesaan menerima dampak krisis ekonomi global lebih berat daripada wilayah perkotaan di Indonesia. Dampak dari krisis ini telah menyebabkan turunnya harga komoditas pertanian dan petani harus menanggung penurunan harga paling besar. Para petani terpaksa harus menerima kerugian yang lebih besar karena para eksportir dan perusahaan inti yang menekan kerugian dengan cara melakukan pass on atau membebankannya kepada petani yang tidak memiliki posisi tawar. Dengan demikian pendapatan petani semakin tergerus dan menurunkan nilai tukar petani (NTP).
Hal lainnya, perusahaan inti umumnya akan mendahulukan untuk menyelamatkan ladang pertanian miliknya sendiri untuk mengatasi penurunan permintaan ekspor komoditi pertanian sehingga pembelian dari petani akan dihentikan. Dampak berantai yang akan timbul antara lain keputusan petani untuk tidak memelihara ladang pertaniannya dan memberhentikan buruh tani yang diperkerjakan atau terjadi PHK secara informal. Akibat lebih jauh adalah petani kehilangan produktivitas dalam jangka panjang, antara lain karena tidak ada perawatan lading pertanian dan petani kehilangan potensi pendapatan jangka panjang.
Akibat lain yang luput dari antisipasi pemerintah adalah peluang terjadinya ledakan pengangguran di desa karena pekerja yang terkena PHK umumnya akan kembali ke kampung halaman dan menganggur. Termasuk korban PHK tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri yang akan kembali ke desa. Beban limpahan penganggur tersebut menyebabkan produktivitas pertanian menjadi turun dan kesejahteraan juga turun. Keadaan menjadi lebih berat karena desa harus menanggung dua beban, yaitu terimbas oleh krisis dan menerima limpahan beban pengangguran dari kota dan luar negeri.
Selain itu yang lagi-lagi luput dari perencanaan pemerintah adalah karena selama empat tahun terakhir tingkat inflasi di wilayah pedesaan lebih tinggi dari perkotaan yang disebabkan oleh adanya arus barang dari kota kembali ke desa. Komoditas pertanian yang semula berasal dari desa dalam beberapa waktu kemudian harus kembali ke desa dan petani membeli kembali dengan harga yang lebih mahal. Kondisi infrastruktur di wilayah pedesaan juga menambah sebab keterpurukan desa. Masalah yang muncul di atas sebenarnya merupakan akumulasi dari berbagai persoalan ketimpangan pembangunan yang mengemuka. Harus diakui selama berjalannya pemerintahan sektor pertanian yang menjadi penopang sebagian besar masyarakat Indonesia (terutama di perdesaan) terabaikan. Hal ini dibuktikan oleh berbagai fakta empirik yang ada.
Menurut data yang direlease oleh BPS, per Februari Agustus 2007-2008 sektor pertanian masih menjadi kontibutor terbesar dalam menyerap angkatan kerja nasional yakni mencapai 40% lebih, jauh jika dibanding sektor manufaktur yang hanya mampu menyerap kurang dari 15%. Dalam penetapan kebijakan anggaran tiap tahun-pun sektor pertanian dan pembangunan perdesaan tidak menjadi perhatian utama. Lebih jauh, lagi-lagi pemerintah menampakkan ketidakberpihakannya terhadap desa, para petani dan sektor informal lainnya. Profil paket stimulus yang diajukan oleh pemerintah sangat timpang dan lebih banyak terserap ke sektor formal atau manufaktur. Sektor pertanian meskipun menjadi primadona di dalam negeri nyatanya tidak cukup untuk meyakinkan pemerintah bahwa sektor tersebut juga perlu proteksi. Pemerintah dengan pemikirannya berasumsi bahwa ekonomi masyarakat pekerja formal-lah yang hanya bisa diandalkan untuk menjadi leverage factor bagi pencapaian target pertumbuhan. Dengan demikian penghematan pembayaran pajak dengan berbagai asumsi multiplier effect-nya menjadi pilihan dan mendapatkan porsi stimulus terbesar, lebih dari 70%.
Seperti dinyatakan oleh pemerintah, proporsi tersebut diarahkan untuk menjaga daya beli masyarakat melalui penurunan pajak pendapatan. Perlu digarisbawahi, para petani, nelayan, dan pekerja informal lainnya tidak turut menikmati fasilitas pajak tersebut, jadi daya beli masyarakat golongan ini akan tetap tertekan. Dengan paket stimulus, diharapkan masyarakat dapat melakukan spending yang lebih besar dan industri manufaktur masih dapat hidup dan terus berproduksi karena masih tingginya permintaan dari pasar domestik. Sedikit catatan, pemerintah tidak mengantisipasi turunnya bea masuk impor yang akan menjadi insentif bagi para importir untuk membanjiri supply pasar domestik dengan barang-barang impor.
Memikirkan instrumen yang tepat untuk menjaga daya beli petani, nelayan, dan pekerja informal memang rumit. Insentif melalui kenaikan harga dasar komoditas pertanian saja tidak cukup bagi petani untuk menanam dan mendapatkan penghasilan lebih dari produksi tanamannya. Petani akan terus merugi dan miskin selama pemerintah tidak mempunyai mainstream untuk memajukan sektor pertanian. Pasokan pupuk yang seringkali langka dan mahal, infrastruktur dan teknologi pertanian yang tidak mendukung, serta masih dibanjirinya pasar domestik dengan produk impor adalah potret sehari-hari sektor pertanian kita dalam beberapa periode terakhir dan tidak mustahil akan kembali terulang di tahun-tahun mendatang.
|
<< Home