Sorga Sebagai Hadiah Kesalehan (Kolektif) ?
Hari ini ramadhan baru genap memasuki hari kedua. Syahdu tadarus dan kedamaian ramadhan sontak sirna dari kepala saya saat metro tv menayangkan seorang ibu yang membakar diri bersama kedua anaknya di daerah Sleman Yogjakarta. Tentu ini bukan kejadian pertama. Kejadian ini cukup kerap di beberapa bulan dan minggu terakhir.
Tetangga sebagai saksi mata mengatakan jika korban mengalami kesulitan ekonomi. Ironis karena sebenarnya mereka tau bahwa si ibu tengah kesusahan. Pendengar dari Palembang (dengan suara terbata-bata) yang berkomentar lewat telpon menyalahkan pemerintah, masyarakat sekitarnya, dan sang korban. Menurutnya kebijakan pemerintah untuk masyarakat miskin tidak tepat dan tidak mendidik, harusnya kasih umpan jangan makanan. Masyarakat sebagai tetangga atau lingkungan terdekat korban juga patut disalahkan, empati sosial rupanya sudah tidak ada lagi. Yang ketiga dia menyalahkan sang korban, katanya korban tidak punya kadar iman yang cukup hingga memutuskan mengakhiri hidupnya dan kedua anaknya.
Boleh jadi komentar pendengar tersebut benar.
Pemerintah lagi-lagi dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Bagaimana tidak, harusnya indikator makro ekonomi yang diagung-agungkan dan jadi referensi program pemerintah merefleksikan capaiannya hingga level household bukan? Jika makronya baik-baik saja maka demikian juga dengan mikronya? Apakah masih berlaku? Jangan bilang kalau kejadian bunuh diri ibu-ibu rumah tangga itu hanya anomali. Wah, ini akan menjadi pertanyaan kubur anda (pemerintah).
Masyarakat kita juga demikian. Kemana lagi itu semangat gotong royong dan tepo sliro. Kemana pula perginya semangat pantang ada tetangga yang kelaparan? Di kampung saya, rupanya memang tradisi antar makanan ke tetangga tiap kali ada yang syukuran atas kelahiran, ulang tahun, kelulusan, ada rejeki, dll sudah tidak ada lagi. Kemungkinan juga dengan daerah lain. Tradisi itu telah tergantikan. Tergantikan dengan apa? Anda yang tau pasti. Ajang kumpul-kumpul tetangga sekarang juga lain, tidak lagi jadi wadah motivasi dan saluran positif lainnya tapi sudah berganti jadi ajang pamer dan unjuk kebolehan (materialistik). Forum-forum pengajian juga telah berganti substansi yang dikaji, quran dan kitab sudah tidak utama lagi. Kajian politik nampaknya lebih menggelitik karena mendatangkan duit.
Keimanan sang korban? Siapa yang bisa menilai? Ada yang paling berhak menilai dan itu bukan kita.
Pastinya pemerintah, masyarakat, dan individunya akan mengaku telah bekerja dengan baik, telah menjalankan amanah yang ada dipundak mereka sebagai aparat maupun sebagai masyarakat dan individu sesuai fitrah hidupnya. Selalu menjalankan perintah dan laranganNya. Lantas jika demikian apakah artinya pemerintah, masyarakat, dan individu kita telah cukup saleh? Jika iya, kenapa masih ada kejadian ibu dan kedua balitanya yang kelaparan hingga mati tak digubris sama tetangganya? Inikah yang disebut dengan kesalehan?
Kesalehan itu bukan output apalagi atribut. Dia adalah proses dan tak berhenti di satu titik. Dia ada di input, output, dst. Dan dia tidak bisa berdiri sendiri melainkan kolektif.
Pemerintah, masyarakat, dan individu ibarat jeruji roda. Jika ada satu yang patah, pastinya roda itu akan menggiring ketiganya menuju neraka.
Artinya, kalo pemerintah, masyarakat, dan individunya enggan beroleh neraka sebagai hadiah atas kesalehannya nampaknya perlu mulai berpikir untuk saling menopang menuju saleh kolektif.
Read more!