Dalam perjalanan menuju Jayapura malam ini saya ingin menuliskan kesan saya akan cerita panjang dan curahan hati sopir taksi yang mengantarkan ke Bandara sesaat tadi. Perjalanan yang macet memberikan saya keleluasaan untuk menyimak cerita Pak sopir yang berasal dari Tegal itu, sayang sekali saya lupa menanyakan namanya. Terkesan karena ternyata pengetahuan pak sopir cukup luas dan cukup baik.
Obrolan dimulai dari komentar saya tentang kemacetan yang semakin menggila, hujan sedikit saja sudah menimbulkan kemacetan yang luar biasa. Apalagi sepanjang hari ini Jakarta hujan cukup deras. Pak sopir menimpali “iya mbak, Jakarta makin sumpek. Saya sebenarnya kalo ada kesempatan lebih memilih untuk bekerja di kampung”. Kemudian tanpa diminta mengalirlah cerita pak sopir. Dimulai dari mengkritisi tentang kinerja presiden dan kabinetnya, otonomi daerah yang tak jelas kemana arahnya, korupsi yang makin tak terbendung, kinerja kepolisian, kejaksaan, dan hakim yang mengusut kasus Gayus, proses pembahasan UU oleh DPR, dan pilkada yang memunculkan konflik baru.
Khusus untuk kasus Gayus pak sopir setengah mengumpat bilang “enak aja tuh si Gayus, masak korupsi ratusan miliar cuman kena kurungan setahun? Udah gitu hartanya juga nggak disita” “Wah kalo begini ceritanya, bakalan banyak Gayus-gayus baru yang muncul”, saya timpali ringan “emang sudah jatuh putusan pengadilannya pak? masa sih nggak ada sita harta? Harusnya ada tuh pak” saya tak berdaya untuk mengomentari lebih jauh karena memang tidak mengikuti perkembangan beritanya. Agak penasaran juga dengan cerita pak sopir. Singkat kata singkat cerita pak sopir merespon dan melanjutkan ceritanya...
Saya terpana dengan ujung cerita yang diakhiri oleh Pak Sopir dengan perkataan “Saya sedih mbak, karena sekarang cari uang makin susah”. Setengah menyemangati, segera saya sahuti “apapun yang terjadi tetap semangat pak, kita bekerja saja dengan profesional dan berusaha sebaik-baiknya karena kalo mau ngikutin politik nggak akan ada ujungnya, tapi tetap kritis boleh”. Pak sopir melanjutkan “iyalah mbak, kita kan cuman rakyat kecil, ya mau nggak mau harus kerja, kalo nggak gimana mau ngasih makan keluarga?”, dia menambahkan “tapi betul juga mbak yang sampean bilang, barangkali dengan saya kerja dengan baik, sampean juga, trus mungkin banyak juga orang yang seperti kita-kita ini jadi masih ada harapan untuk negeri ini menjadi lebih baik”. Cerdas!
Masalah ekonomi dan kesejahteraan memang seolah kerja yang tak ada ujungnya. Presiden kita yang jago dalam hal pencitraan dan branding ini juga punya konsep yang ‘ear catching’ dan punya nilai customer intimacy yang tinggi - meski banyak isue kecurangan - tak heran pemilihnya banyak. Pro-pertumbuhan, pro-lapangan kerja, pro-pengurangan kemiskinan, pro-lingkungan sebagai triple track strategy yang jadi andalan dan sekaligus jargon kampanye ekonominya.
Namun presiden kita lupa kalo citra pinter, baik, ganteng, cool tak cukup buat rakyat senang, kenyang, dan mentas. Sebelum kecintaan rakyat pemilihmu memudar, ayo pak jangan ragu-ragu untuk kembali berpihak kepada rakyat. Bersama-sama rakyat melanjutkan pencapaian-pencapaianmu dulu sebagaimana kamu janjikan di kampanye lalu. Nggak usah sibuk mengkawatirkan rongrongan koalisimu yang terbukti nggak performed dan tak setia, tak perlu takut pula sama intimidasi Bakrie. Berhenti pada tahap jargon dan pencitraan saja karena pemilihmu mulai gusar dan menyesal. Entaskan rakyat (termasuk pemilihmu) dari kesusahan.
Saya percaya dengan resep sederhana Todaro (satu-satunya ekonom dan bapak pembangunan yang ilmunya mudah saya pahami ^_^) yang menurutnya ekonomi dianggap mensejahterakan jika dapat tumbuh, dirasakan secara merata oleh rakyat, dan berkelanjutan.
Dan apakah kita sudah menuju kesana? Statistik menunjukkan pencapaian yang nampaknya baik, GDP kita bahkan sempat mencapai angka 6persenan ditengah situasi ekonomi global yang tengah lesu, sekaligus sebuah pencapaian tertinggi sejak krisis 1997. Share usaha mikro dan kecil terhadap GDP yang berkisar diangka 50persenan sebagai ukuran keterlibatan masyarakat kecil dalam kegiatan ekonomi nasional juga patut diapresiasi. Namun sekarang statistik bicara lain, dia menunjukkan angka yang kurang menggembirakan, belum lagi HDI yang jeblok, indeks korupsi yang makin tinggi, dst. Lantas, pertanyaannya, mau berubah atau punah (pinjam judul tulisan teman)?
Mesin dan segala prasyarat sudah dipersiapkan. Kapasitas juga telah tersedia, tinggal nunggu instruksi dan ketegasanmu pak. Cukupkan disini memble dan marah tak jelasmu itu.
Saya masih berharap presiden kita empat tahun ke depan mengubah strategi politik dan kebijakannya dari SEKEDAR pencitraan dan bunyi-bunyian menuju strategi kerja nyata. Masih ada waktu pak SBY!
Read more!