TAHUN 2008
Momentum Pertumbuhan Ekonomi
Hingga triwulan III-2008 Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia meningkat sebesar 3,5 persen terhadap triwulan II-2008 (q-to-q). Peningkatan terjadi pada semua sektor ekonomi, dengan pertumbuhan tertinggi di sektor pertanian 6,7 persen dan terendah di sektor jasa-jasa 0,9 persen. Bila dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun 2007 (y-on-y), PDB Indonesia triwulan III-2008 ini mengalami pertumbuhan sebesar 6,1 persen, dimana semua sektor mengalami pertumbuhan, tertinggi di sektor pengangkutan dan komunikasi 17,1 persen dan terendah disektor pertambangan dan penggalian 1,6 persen. Pertumbuhan PDB tanpa migas pada triwulan III-2008 mencapai 6,6 persen (y-on-y), yang berarti lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan PDB keseluruhan yang besarnya 6,1 persen. Secara kumulatif, pertumbuhan PDB Indonesia hingga triwulan III-2008 dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2007 (c-to-c) tumbuh sebesar 6,3 persen.
Besaran PDB Indonesia atas dasar harga berlaku pada triwulan III-2008 Rp1.343,8 triliun sehingga kumulatif triwulan ke III-2008 mencapai Rp3.705,3 triliun. Dari sisi penggunaan, kontribusi konsumsi pemerintah pada pertumbuhan ekonomi selama triwulan III 2008 cukup besar yakni sebesar 7,9 persen. Sementara itu pertumbuhan konsumsi rumah tangga selama triwulan III mencapai 1,9 persen, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) sebesar 5,4 persen, ekspor sebesar 0,0 persen, dan impor 1,2 persen. Pertumbuhan PDB penggunaan triwulan III-2008 dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun 2007 (6,1 persen) ditopang oleh pertumbuhan konsumsi pemerintah 16,9 persen, ekspor 14,3 persen, PMTB 12,0 persen, impor 11,9 persen dan konsumsi rumah tangga 5,3 persen. Adapun terkait struktur perekonomian Indonesia secara spasial masih didominasi oleh Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap PDB nasional sebesar 57,5 persen, kemudian diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar 23,8 persen, Pulau Kalimantan 10,1 persen, Pulau Sulawesi 4,1 persen dan lainnya sebesar 4,5 persen. Secara umum pertumbuhan investasi masih jauh dari target pertumbuhan investasi selama 2008 sebesar 12-15 persen.
Mengenai dampak resesi global, dari pertemuan G7 di Jepang beberapa waktu lalu menyimpulkan bahwa dampak resesi global terhadap Indonesia tidak signifikan karena ekspor Indonesia terdiversifikasi, sementara investasi sebagian besar dari domestik. Selama triwulan IV 2008 diharapkan berbagai paket kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menciptakan momentum pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dapat tercapai.
Harga Minyak Dunia
Perkembangan berbagai faktor eksternal yang penuh ketidakpastian dan sulit diprediksikan mewarnai situasi perekonomian yang terjadi sejak kuartal IV 2007 dan terus berlanjut hingga kuartal II 2008. Ketidakpastian ini berawal dari krisis subprime mortgage yang terjadi pada pertengahan tahun 2007 dan telah memberikan imbas pada kondisi perekonomian dunia. Pada saat yang bersamaan, harga-harga komoditi dunia mulai dari minyak bumi, minyak sawit, gandum, dan kedelai mengalami peningkatan yang sangat tinggi hingga lebih dari 100 persen.
Tingginya harga komoditi dunia terutama harga minyak mentah ternyata masih berlanjut hingga memasuki semester II 2008 dan belum ada tanda-tanda akan berakhir dalam jangka waktu dekat. Harga minyak dunia yang terus meningkat hingga mencapai kisaran US$140 per barel pada pertengahan Juli 2008 ternyata mulai menunjukkan tanda-tanda menurun pada akhir bulan Juli pada kisaran harga US$125 per barel. Walaupun harga minyak mulai menunjukkan kecenderungan yang menurun, namun berbagai prediksi oleh lembaga yang kompeten di bidang perminyakan menyebutkan bahwa kenaikan harga minyak dunia masih akan tetap berlanjut.
Bila mencermati perkembangan permintaan dan penawaran minyak dunia selama Desember 2007 hingga Juni 2008, dapat dilihat bahwa produksi minyak dunia sudah melebihi permintaannya, namun demikian harga minyak internasional tetap terus meningkat. Tingginya harga minyak pada periode ini lebih disebabkan faktor nonfundamental akibat tindakan spekulatif di pasar komoditi. Harga rata-rata minyak mentah WTI untuk periode Januari – Juni 2008 mencapai US$111,1 atau naik 80,5 persen dari harga rata-rata periode yang sama tahun sebelumnya yaitu US$61,6. Harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) periode Januari – Juni 2008 mencapai US$109,4 per barel, meningkat 73,8 persen dari harganya pada periode yang sama di tahun 2007 sebesar US$62,9 per barel.
Kinerja Pasar Modal
Kenaikan harga komoditi termasuk harga minyak dan harga pangan telah memicu inflasi dan memperlambat perkembangan indeks harga saham. Sejak awal tahun 2008, indeks harga saham di pasar global terus mengalami koreksi, meskipun beberapa indeks di pasar modal mengalami recovery dibandingkan nilai keseluruhan indeks pada awal tahun. Perdagangan saham di Dow Jones yang pada awal tahun 2008 dibuka pada level 13.044,0, sepanjang Semester I 2008 terus berfluktuatif dan pada akhir Juli ditutup pada level sekitar 11.370,0 atau terkoreksi 1.674,0 poin.
Indeks ini lebih rendah bila dibandingkan periode yang sama tahun 2007 dengan nilai 13.408,6 atau turun sebesar 2.038,6 poin. Hal yang sama juga dialami oleh bursa saham negara lain. Indeks saham global lain yang juga mengalami koreksi adalah FTSE 1000 (Inggris) pada akhir Juli 2008 ditutup pada level 5.625,9 atau turun 790,8 poin dari 6.416,7 di awal tahun. Penurunan indeks juga dialami oleh bursa saham regional. Indeks Nikkei (Jepang) turun 1.210,0 poin, indeks Hang Seng (Hongkong) turun 5.458,5 poin dan indeks BSE (India) turun 6.839,1 poin dibanding posisi awal tahun.
Memasuki tahun 2008, kinerja pasar modal domestik masih cukup baik dan mampu terus tumbuh serta menciptakan beberapa rekor baru, antara lain indeks harga saham yang mencapai 2830,3 pada tanggal 9 Januari 2008. Namun kondisi ekonomi AS yang semakin memburuk telah membawa sentimen negatif pada bursa saham. Indeks bursa saham utama termasuk bursa saham Indonesia kembali berjatuhan. IHSG turun mencapai level terendah 2180,1 pada tanggal 9 April 2008. Kebijakan untuk menaikkan harga BBM dan realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2008 yang masih cukup kuat, membawa sentimen positif ke bursa saham Indonesia sehingga IHSG mampu kembali meningkat. Pada akhir Semester I 2008, IHSG ditutup pada level 2349,1 meningkat 9,8 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Krisis finansial Amerika Serikat yang merambat ke berbagai penjuru dunia ini ditunjukkan dengan aksi jual saham besar-besaran para investor asing yang tengah membutuhkan likuiditas dan kemudian diikuti investor domestik yang panik membuat indeks saham terpelanting ke jurang. IHSG yang Januari lalu sempat pada level 2.830 kini bergerak di sekitar 1.200 poin atau telah tergerus hampir 60 persen. Keseriusan perusahaan BUMN melaksanakan program beli balik (buy back) saham pun masih diragukan. Sampai 1 Desember lalu, dana yang dibelanjakan untuk beli balik saham BUMN baru Rp 253 miliar atau sekitar 3,8 persen dari cadangan dana sebesar Rp 6,5 triliun.
Obligasi
Di sisi lain, gejolak keuangan dunia di awal tahun 2008 telah memberikan beban yang berat pada Surat Utang Negara (SUN). Hal ini tercermin dari semakin meningkatnya ekspektasi imbal hasil (yield) untuk SUN 10 tahun di pasar sekunder hingga mencapai 13,2 persen pada tanggal 9 Juni 2008. Dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu berarti yield SUN 10 tahun telah meningkat sebesar 412 bps. Instrumen surat utang dengan jangka waktu 10 tahun ini memang lebih mendapatkan tekanan dibandingkan instrumen surat utang dengan jangka waktu yang lebih panjang, misalnya SUN 30 tahun. Dengan semakin meningkatnya yield, Pemerintah perlu membayar bunga yang lebih mahal untuk penerbitan surat utang baru. Suku bunga yang meningkat akan menambah beban pembayaran bunga utang pada APBN.
Harga Komoditi Beras
Harga beras dunia meningkat tajam dalam tahun 2008. Walaupun sudah mulai menunjukkan penurunan, harga beras Thailand - yang menjadi acuan harga beras dunia - mencapai US$741,65 per metrik ton atau mengalami peningkatan sebesar 97 persen dibandingkan dengan harga pada akhir tahun 2007. Kenaikan harga beras ini merupakan yang tertinggi selama 20 tahun terakhir. Kenaikan harga beras internasional terjadi pada saat produksi beras dunia mencapai puncaknya. Penyebab kenaikan ini lebih disebabkan karena tindakan beberapa negara pengekspor beras seperti India dan Vietnam yang memberlakukan restriksi ekspor dan sikap panik dari Filipina yang mendorong harga beras bergerak liar. Langkah koordinasi yang dipelopori oleh Indonesia dengan mendekati beberapa negara yang memiliki stok beras besar seperti Jepang dan Cina serta kebersediaan negara pengekspor beras seperti Vietnam dan Thailand untuk menyediakan pasokan beras telah meredakan gelojak harga beras tersebut. Di pasar domestik, harga beras dalam negeri kualitas sedang pada akhir Juni 2008 telah mencapai Rp5.544 per kilogram, atau hanya naik 8,2 persen dibanding harga pada dengan akhir tahun 2007.
Suku Bunga
Sejak awal 2008, pelaksanaan kebijakan moneter diarahkan untuk mengupayakan pergerakan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) pada tingkat yang sesuai dengan BI rate. Sejak April 2008, kebijakan moneter yang telah diambil berhasil mengarahkan pergerakan tingkat suku bunga PUAB O/N mendekati BI rate yaitu sebesar 8,0 persen. Seiring dengan mulai meningkatnya laju inflasi, pada bulan Mei 2008 Bank Indonesia mulai menerapkan kebijakan moneter yang lebih ketat dengan menaikan BI rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 8,25 persen. Pada Juni 2008, BI rate kembali dinaikkan 25 bps menjadi 8,50 persen sebagai respons terhadap peningkatan ekpektasi inflasi yang mencapai 11,03 persen (y-o-y). Peningkatan BI rate terus berlanjut hingga pada bulan Juli 2008 menjadi 8,75 persen.
Kenaikan suku bunga BI rate akan diikuti dengan kenaikan suku bunga SBI 3 bulan dan suku bunga pinjaman perbankan, seperti suku bunga kredit investasi, kredit modal kerja, dan kredit konsumsi. Suku bunga SBI 3 bulan yang pada awal tahun 2008 sebesar 7,83 persen meningkat menjadi sebesar 9,0 persen pada Juni 2008 dan diperkirakan akan terus meningkat.
Tingkat Inflasi
Inflasi menunjukkan kecenderungan meningkat akibat meningkatnya harga pangan dunia dan juga dampak dari kenaikan harga BBM. Pada bulan Juli 2008, tingkat inflasi mencapai 1,37 persen (m-t-m), menurun dibandingkan inflasi bulan Juni 2008 yang mencapai 2,46 persen, dan inflasi tahunan sebesar 11,9 persen (y-o-y). Tingginya inflasi pada bulan Juni dan Juli 2008 tersebut menyebabkan inflasi selama Januari-Juli 2008 mencapai 8,85 persen, lebih tinggi dibandingkan inflasi pada periode yang sama tahun 2007 yang besarnya 2,81 persen. Akibat dari kenaikan inflasi ini, Bank Indonesia secara perlahan mulai menaikkan tingkat bunga dari 8,0 persen pada bulan Januari 2008 menjadi 8,75 persen pada bulan Juli 2008.
Profil Rupiah
Hingga Minggu ke-3 November 2008, kurs rupiah menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan. Terhadap dolar AS, nilai tukar rupiah telah menembus batas psikologis 12.000, dan pada perdagangan kemarin ada di level 12.480 per dolar AS. Nilai tukar tersebut merupakan level terendah sejak 10 tahun lalu. Selama 2008, rupiah telah terdepresiasi lebih dari 30%, dolar Singapura berada di kisaran 24%, ringgit Malaysia 15%, dolar Taiwan 10%, baht Thailand 6% dan renminbi China hanya merosot 3%. Bahkan beberapa valuta di Asia justru mengalami apresiasi seperti dolar Hong Kong sebesar 1%, won Korea 9% dan peso Filipina 18%. Anjloknya nilai tukar rupiah membawa dampak yang serius bagi perekonomian nasional, mengingat masih besarnya ketergantungan kita pada barang-barang impor. Artinya beban hidup masyarakat menjadi bertambah berat, ongkos berusaha menjadi meningkat, yang pada akhirnya kondisi ini bisa memperlemah perekonomian nasional.
Mata uang adalah komoditas yang nilainya sangat dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran di pasar. Besarnya upaya Amerika Serikat menyedot dolarnya dari pasar keuangan dunia guna menyelamatkan ekonomi negara adidaya itu, tentu akan memengaruhi kinerja mata uang dunia. Anjloknya indeks bursa-bursa global-khususnya IHSG-akan mengakibatkan perpindahan dana-dana di pasar modal. Kebutuhan dolar AS yang tinggi untuk membayar utang-utang korporasi besar dan BUMN yang jatuh tempo, juga ikut berpengaruh. Penambahan dana pihak ketiga di perbankan-mayoritas masuk ke 10 bank besar-tentunya tidak terjadi begitu saja tanpa sebab. Belum lagi sikap panik masyarakat yang mengkonversi rupiahnya menjadi valuta asing, membuat suasana menjadi bertambah keruh. Meskipun sedikit terlambat dan kehilangan momentum, kebijakan blanket guarantee melalui disyahkannya paket undang-undang penanganan krisis pada akhir masa persidangan ke-4 2008 oleh DPR akan sedikit menenangkan para pelaku ekonomi.
Ketahanan Pangan
Langkanya pupuk bersubsidi di pelosok nusantara, disinyalir akibat ulah penyalur yang sengaja belum menyalurkan pupuk sesuai dengan jatah daerah masing-masing. Potensi penyelewengan juga dipicu besarnya perbedaan harga pupuk bersubsidi untuk petani dengan harga pupuk non-subsidi. Saat ini harga resmi pupuk bersubsidi untuk petani Rp 1.200, sedangkan pupuk non-subsidi Rp 6.100. Perbedaan ini memancing distributor agar memperoleh keuntungan besar dengan menjual pupuk subsidi dengan harga lebih tinggi dengan dalih pupuk itu non-subsidi yang dijual di bawah harga resmi.
Read more!