Gross National Happiness
Ditengah masalah pajak, tunggakan sewa rumah, denda parkir, scanner ilang, biaya hidup, di kantor kerap dikerjain untuk beli minum, donat, dll Chris mencoba persistent dengan yang dia kejar. Meski gelandangan tugas rutin karyawan magang yang tidak dibayar dia lakoni dengan serius. Benar saja, begitu masa internship telah usai, dia dinyatakan diterima. “This little part of my life is called as happiness” seru Chris haru membayangkan sukses dan bahagia di depan mata. Chris meyakini bahwa kebahagiaan tidak jatuh dari langit melainkan harus dikejar. “Don’t ever let somebody tell you that you can’t do anything. When you want something then you will go get it, period.”
Sedikit berbeda dengan pemaknaan Chris akan kebahagiaan yang lepas dari aspek spiritualitas. Dalam konsep Islam, kebahagiaan salah satunya dimaknai sebagai keseimbangan pola hidup baik material maupun spiritual, selamat di dunia maupun akhirat. Seorang muslim tidak serta merta dapat dikatakan bahagia jika ada tetangganya yang kelaparan atau kesusahan. Dengan demikian Islam juga menyerukan kebahagiaan kolegial. Seorang muslim dapat dikatakan berbahagia jika dia dapat berbagi. Tidak hanya berbagi shaf ketika melaksanakan sholat secara berjamaah, tapi juga berbagi penghasilan, bonus, komisi, dan dari tiap2 rejeki lainnya yang dia peroleh.
Dikatakan pula bahwa tingginya derajat keimanan dan ketaqwaan seseorang pada Allah membawa kebahagiaan yang mutlak dan tak lekang oleh berbagai goncangan terhadap konsistensi seseorang tersebut. Dalam kondisi materi yang pasang surut tidak akan berpengaruh terhadap kadar kebahagiaan seseorang yang sudah mencapai tahap iman dan taqwa dimaksud. Senantiasa berbahagia dalam menjalankan segala amalan dan berbagai kewajiban sebagai umat. Menunaikan shalat, melaksanakan puasa, membayar zakat, memberikan sedekah, tolong menolong antar sesama, serta menunaikan tugas amar maruf nahi munkar. Kebahagiaan pada tahap ini disebut sebagai kebahagiaan tingkat tinggi. Berbahagialah teman2 saya yang sudah sampai pada tahap ini.
Nah apa kemudian hubungan antara definisi kebahagiaan di atas dengan Gross National Happiness (GNH) atau Kebahagiaan Nasional Bruto? Kita tahu bahwa di republik ini begitu banyak masyarakat kita yang dari sebelum shubuh hingga ketemu shubuh lagi tak henti bekerja untuk mengejar kebahagiaan ala Chris namun tak sedikit pula muslim yang derajat spiritualitasnya cukup tinggi dan senantiasa berbagi kebahagiaan dengan sesama namun mengapa secara makro potret happiness itu masih belum nampak? Semuanya nampak buram dan suram. Ada yang salah.
Kembali ke konsep GNH, sebagaimana dijelaskan oleh keponakan Raja Bhutan yang saya kutip dari drukpacouncil.org, konsep ini pada dasarnya diilhami oleh falsafah untuk menciptakan suatu lingkungan di mana kepuasaan dan kebahagiaan rakyat yang paling diutamakan. Konsep ini rupanya telah diperkenalkan lumayan lama oleh Bhutan sejak 1972 lalu, meski kalo boleh jujur saya baru tahu dari artikel yang dikirimkan oleh seorang teman dan menginspirasi saya untuk menulisnya lebih jauh. Cukup menarik karena berangkat dari nilai-nilai spiritualitas yakni salah satu ajaran Buddhisme dan unik karena diinstitusionalisasi oleh negara. Layak pula untuk dipelajari dan dipertimbangkan setelah kita merasa tidak cukup bahagia dengan konsep GDP dan HDI yang telah lama kita adopsi dan agung-agungkan. Termasuk untuk menjawab kenapa potret happiness itu belum nampak di wajah rakyat Indonesia.
Memang tidak mudah untuk mengadopsi konsep GNH. Dari beberapa informasi yang saya dapat melalui wikipedia, konsep GNH banyak melahirkan kritik terutama terkait subyektifitas dan tingkat kesulitan pengukurannya. Sangat sulit untuk membandingkan kebahagiaan antar orang per orang. Saya cukup bahagia jika bisa makan rawon yang saya anggap enak, namun mungkin bagi yang lainnya makan rawon adalah hal yang tidak terlalu istimewa dan tidak bikin dia bahagia, hehe. Namun meski demikian Neo klasik pernah menjadikan ‘indikator kebahagiaan’ sebagai parameter untuk mengukur utilitas dan general welfare. Memang konsep tersebut sempat dimentahkan oleh aliran neo klasik modern yang menganggap kebahagiaan adalah menyangkut preferensi seseorang, tapi dikemudian hari teori ini justru dinyatakan kurang tepat.
Yang menarik, Med Yones pada tahun 2006 menjadikan GNH lebih membumi karena dia menyodorkan variabel2 yang datanya bisa dikuantifisir sehingga memudahkan para evaluator untuk mengukurnya. Dia mengusulkan nilai GNH sebagai fungsi indeks dari total rata-rata per kapita untuk ketujuh variable mencakup 1) Economic Wellness yang mengukur besarnya utang konsumsi, rasio rata-rata pendapatan terhadap inflasi, dan distribusi pendapatan; 2) Environmental Wellness menyangkut tingkat polusi dan kemacetan; 3) Physical Wellness yang diukur dari kerentanan terhadap penyakit; 4) Mental Wellness yang bisa dilihat dari tingkat penggunaan obat anti depresi dan naik/turunnya pasien kejiwaan; 5) Workplace Wellness untuk mencakup ada/tidaknya tuntutan dari para pengangguran, frekwensi ganti pekerjaan dan munculnya gugatan; 6) Social Wellness yakni ada/tidaknya deskriminasi, keamanan, tingkat perceraian, aduan kekerasan dalam rumah tangga, tingkat kriminalitas, dan terakhir adalah; 7) Political Wellness yang dilihat dari kualitas demokratisasi di daerah, kebebasan individu, dan konflik luar negeri. Pengukuran ketujuh variable tersebut dilakukan melalui survey rumah tangga dan melalui penelusuran data statistik. Meski tidak teradministrasi secara baik, elemen data yang diajukan oleh Yones ini kita punya semua.
Jika Amartya Sen dkk mengalami banyak kritikan dan pertentangan ketika konsep HDI pertamakali diperkenalkan maka konsep GNH ini juga patut untuk dicoba paling tidak untuk departemen-departemen di bawah Menkokesra yang mengkoordinasikan program-program PNPM, PKH, BLT, dll. Intinya bukan pada mau coba-coba atau tidak tapi adalah pada pencarian konsep yang terbaik untuk mengukur apakah rakyat cukup bahagia dengan hasil-hasil pembangunan yang konon untuk bikin rakyat lebih bahagia? Bahagia ala Chris atau yang lainnya?
Bersama-sama dengan China dan India, GDP kita mengindikasikan kinerja ekonomi yang cukup baik meski peringkat HDI kita jeblok (ajaib kita bisa dibawah Srilanka dan Palestina yang habis perang saudara dan dibom Israel). Namun demikian, pemerintah masih butuh potret yang lain untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat lebih dalam, GNH mungkin bisa dipertimbangkan untuk alat ukur Indonesia yang lebih bahagia. Kenapa tidak?
Read more!