Jellyjuice Column

"A slice of thought with Indonesia topping and jellyjuice sauce, spicy yet releasing!"

Hello there! Welcome aboard..you will straightly feel my expression when you first read the post title. My column is all about my concern about Indonesia and its surrounding. It's all about expressing myself with writings. I hope you enjoy all the writings posted in my column - Yes, it might not cheers you up, but I can assure you that you will poisoned and addicted to my writings :).

In my freestyle writing, you will shortly found emotion, passion, and connection with them. Please don't blame me if you experienced these. So, please join me to make writing as a mean for communication, meditation and energy channel for positivity. A way to find peace and harmony a-la Jellyjuice. So, if you have comments to write on please feel free to do so, flower or chocolate milk are also welcome :). Thanks for stopping by, please leave your blog's url so i can visit you back :). All and all, never stop expressing yourself to the world with writing !

Umihanik a.k.a Jellyjuice

| My mother drew a distinction between achievement and success. She said that achievement is the knowledge that you have studied and worked hard and done the best that is in you. Success is being praised by others. That is nice but not as important or satisfying. Always aim for achievement and later on success | Me on Facebook | Follow @umihanik_ME on Twitter| Me on Linkedin | Keep in touch with me? Read my daily notes^ | My short professional bio: Umi Hanik is professional in development evaluation who has been working for many bilateral/multilateral organisations in Indonesia for the past 17 years. She holds BA and master of economics in public policy and pursuing advanced master/predoctoral studies in development evaluation. She works as M&E specialist for Asian Development Bank (ADB) program with Mercy Corps International on a national strategy to promote agritech 4.0 informations extension for smallholder farmers to cope with extreme climate in Indonesia from Oct 2018-Jan 2020. Currently she also serves as evaluation consultant for KSI-DFAT, GIZ-PAKLIM, DREAM-JICA, SSC-JICA until April 2020. Among her outstanding works, she has contributed to the national development planning, budgeting, monitoring and evaluation reforms in Indonesia. Her current research interest is in the politics of evaluation and the politics of social interventions for the poor. And along with her professional career, she has contributed to the evaluation society by motivating, supporting, and mentoring young and emerging evaluators in Indonesia. She has also very active in the effort of establishing the national/regional evaluation association. She is the founding members of Indonesian Development Evaluation Community (InDEC)*, Board Directors of Asia Pacific Evaluation Association (APEA)**, and Management members of EvalGender+***. Being adaptive with 4.0 industrial revolution call and during her evalreflection, in April 2018 she starting to develop MONEVStudio, a startup to promote sustainable development and evaluation literacy and inclusiveness. P.s. MONEV is a popular acronym in Indonesia for MONitoring and Evaluation. Drop her an email at umi.hanik@outlook.com for her latest cv. *) InDEC (http://indec.or.id/index.php/79-profile/71-profile-of-indec) is a Voluntary Organization for Professional Evaluation (VOPE) was founded on June 4th 2009 aiming at promoting qualified M&E professional; to enhance knowledge, capacity, and experience sharing among M&E professionals in Indonesia; and to promote better M&E practice for the development process in Indonesia, regional and international. Full profile/history read here http://www.ioce.net/en/PDFs/national/2012/Indonesia_InDEC_CaseStudy.pdf **) https://www.facebook.com/AsiaPacificEvaluationAssociationApea/ ***) https://www.evalpartners.org/evalgender


Chat Corner

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x

Paper Collections

  • M&E PHLN antara teori kebijakan dan praktik
  • MRV of the NAMAs
  • Performance Budgeting and M&E
  • M&E Penyelamat Instansi Pemerintah
  • M&E dan Pemanfaatan PHLN
  • Subsidi Minyak Goreng
  • Stimulus Fiskal 2009
  • Ekspor & Pembiayaan
  • Energi & APBN 2008
  • APBN, Investasi, Tabungan
  • Pembangunan Perdesaan
  • Banjir, Infrastruktur, Pangan
  • Ekonomi 2008
  • Catatan RUU APBN 2009
  • Pelaksanaan APBN 2006
  • Penanganan Krisis 2008
  • Reformasi Perpajakan
  • Ekonomi 2003
  • Pangan dan Inflasi
  • Krisis Global dan Pangan
  • Krisis, Ekspor, Pembiayaan
  • M&E Alignment, Aid Effectiveness
  • Postur RAPBN 2009
  • Pangan & Problematikanya
  • Kebijakan M&E Pinjaman Luar Negeri
  • Pertanian & Kedelai
  • Masalah Ketenagakerjaan
  • Subsidi BBM


  • Also available at :
  • umihanik@docstoc.com
  • umihanik@slideshare.net
  • Virtual Mate

  • Dadang
  • Finding : Hani
  • Mpud Ndredet
  • Tiara
  • Taman Suropati
  • Muhyiddin
  • Ponakan
  • Birokrat Gaul
  • Fahmi Oyi
  • Asal Njeplak
  • Bastomi
  • Cak Lul
  • Ery Ecpose
  • Berly
  • Robby
  • Pak Zuki
  • Previous Post

    Credit

    My Engine : Blogger
    My Campus : Google State University
    My Virtual Family : Blogfam
    Al-Hidayah : Free Education for All




    online



    Monday, May 25, 2009

    Ilusi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan

    -->
    Sejak berakhirnya perang dunia kedua wacana dan berbagai literatur tentang perencanaan pembangunan cukup ramai diperbincangkan dan menjadi bahan yang tak kering untuk dikupas. Umumnya perbincangan berkutat seputar bagaimana perencanaan dapat diimplementasikan. Atau secara eksplisit bagaimana perencanaan dapat dilaksanakan sesuai dengan yang ditulis dan direncanakan oleh para perencana yang sudah capek-capek sampai rambut rontok demi menyusun dokumen perencanaan yang terbaik bagi negeri.

    Telah menjadi isue lama juga, dan hal ini juga sudah dicoba dicarikan solusinya dalam berbagai diskursus mulai dari sambil minum es kelapa muda di pelataran masjid sunda kelapa, di kantin PJP Bappenas, Pujasera DPR, di lantai 13 BEJ, talang betutu, bahkan sampai seminar dan simposium di berbagai hotel berbintang, termasuk di berbagai daerah. Ini-pun baru tahap yang saya pernah ikut terlibat langsung, belum lagi yang dilakukan para senior planner dan para petinggi lainnya. Berbagai advisory dan tool yang paling sakti dan ampuh-pun telah dicoba, ya akhirnya kita hanya bisa pasrah dan menemukan satu kesepakatan dan kesimpulan menarik bahwa ‘konsistensi antara perencanaan dan realisasi pembangunan’ adalah memang bukan budaya asli kita. Kita butuh waktu agak panjang untuk dapat mengadopsi budaya asing ‘konsisten’ tersebut. Hehe, kurang lebih seperti itu kelakar untuk menggambarkan betapa susahnya untuk konsisten pada rencana dan realisasi.

    Boleh sedikit berbesar hati karena ternyata Indonesia tidak sendirian, menurut referensi yang ada umumnya seluruh negara yang ada di dunia mengalami kendala yang sama utamanya negara-negara berkembang. Jangankan untuk lingkup negara yang cukup besar, untuk lingkup individu saja jika kita mau jujur seringkali kita tidak bisa konsisten dengan rencana-rencana yang sudah kita tetapkan, bahkan seringkali dan banyak yang hidup tanpa rencana yang jelas. Follow with the flow aja, mengalir seperti air, dan ikut kemana arah angin berhembus saja, toh takkan lari gunung dikejar, garam di laut asam di gunung ketemu juga di cobekan, apalagi jika kita hidup ditengah filosofi jawa yang sangat kental yang serba ‘nerimo ing pandum’, dan falsafah hidup lainnya dimana kita tidak banyak dituntut untuk berencana.

    Arthur Lewis dan Albert Waterson setidaknya mengidentifikasi masalah ketidakkonsistenan dalam rencana dan realisasi ini disebabkan oleh enam hal utama yakni : 1) Seringkali dokumen rencana yang ada hanya menjadi komoditas politik yang utopis; 2) Tidak mendapatkan dukungan politik dan kurangnya kestabilan politik; 3) Minimnya koordinasi antar stakeholder pembangunan; 4) Kurang dukungan data statistik dan informasi yang komprehensif untuk mendukung perencanan yang ideal tapi realistis; 5) Lemahnya kapasitas SDM yang ada; dan 6) Administrasi pemerintahan yang belum tertata dengan baik.

    Para ahli-pun yang telah mempelajari berbagai contoh dan best practise yang ada, agak sulit untuk dapat merumuskan formula yang mujarab untuk mengatasi persoalan di atas. Akhirnya para ahli hanya banyak berfokus pada teori-teori dan prinsip perencanaan dibanding pada aspek praktiknya. Ya wajar juga, para ahli toh juga manusia yang punya keterbatasan. Tapi paling tidak definisi perencanaan yang dirumuskan oleh Albert Waterston dapat saya jadikan pegangan. Dia menyebutkan bahwa perencanaan pembangunan adalah melihat ke depan mengambil pilihan berbagai alternatif dari kegiatan untuk mencapai tujuan masa depan tersebut dengan terus mengikuti agar supaya pelaksanaannya tidak menyimpang dari tujuan.

    Keyword-nya adalah “terus mengikuti supaya pelaksanaannya tidak menyimpang”, dalam bayangan saya ini sudah masuk kepada wilayah monitoring dan evaluasi perencanaan pembangunan untuk selanjutnya saya sebut monev. Jadi solusi konsistensi ini terletak pada optimalnya peran monev. Namun demikian sebelum kita bicara lebih jauh tentang monev, sebagai informasi saja desain monev yang ada saat ini dengan berbagai regulasinya harus kita akui tak kalah ruwetnya dengan benang kusut, butuh waktu dan tenaga ekstra tersendiri untuk mengurainya. Namun dalam mimpi atau ilusi saya siang tadi, tampaknya dua masalah tersebut dapat begitu mudahnya diselesaikan. Bagaimana caranya?

    Dulu pada saat pemerintahan Gus Dur beredar rumor akan dibentuk dewan perencanaan nasional untuk menggantikan Bappenas. Kecanggihan intelektual Gus Dur yang pada saat itu belum bisa ditangkap secara harafiah, dianggap sebagai keputusan yang absurd dan ngawur karena hanya mengandalkan bisikan-bisikan murahan. Peran Bappenas yang banyak dipertanyakan, tidak dianggap sebagai signal. Berlanjut hingga berlangsungnya reformasi anggaran (UU 17/2003). Bappenas limbung dan kebingungan. Daerah tambah bingung lagi. Akhirnya Bappenas diselamatkan oleh UU 25/2004. Inipun belum selesai karena pengaturan atau kesepahaman tentang pembagian peranan atau koordinasi perencanaan daerah dengan pusat juga masih belum tuntas. Belum lagi perdebatan dan pertentangan tentang peranan Bappenas paska era desentralisasi.

    Nah, dalam mimpi saya siang tadi mengisyaratkan Bappenas dengan gagah beraninya mereformasi struktur dan organisasinya secara total dengan pendekatan ke-desentralisasi-an atau tepatnya perencanaan berbasis kewilayahan. Maksudnya begini, struktur organisasi didesain terinci berdasarkan kewilayahan. Misalkan untuk Unit Kerja Eselon (UKE) I akan ada tiga yakni mencakup : 1) Kedeputian Bidang Perencanaan Pembangunan Wilayah Indonesia Timur; 2) Wilayah Indonesia Tengah; dan 3) Wilayah Indonesia Barat. Adapun UKE II-nya akan fokus pada propinsi di wilayah tersebut, demikian seterusnya diikuti oleh Kasubdit yang akan mengkoordinasi beberapa kabupaten, sedangkan staf akan fokus pada penanganan satu kabupaten. Tupoksi yang melekat di tiap2 UKE adalah mulai dari aspek perencanaan, penganggaran, strategi pembiayaan, administrasi pembangunan, pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan, infrastruktur, penanggulangan kemiskinan, pertahanan keamanan, agama dan kebudayaan, dll sampai dengan monevnya. Nah monev disini difungsikan juga sebagai instrumen untuk mengawal konsistensi antara rencana kegiatan, rencana anggaran, dan realisasi kegiatan, serta realisasi anggaran baik secara vertikal yakni inline dengan dokumen rencana di atasnya maupun secara horizontal.

    Staf perencana hanya akan fokus untuk menangani satu kabupaten saja. Dalam menjalankan pekerjaannya atau tupoksinya kitab wajib pegangan dia adalah RPJMN, RKP, RPJMD, RKPD, RTRWN, RTRWD, RKAPD, Renja K/L, RKAK/L, dll pokoknya seluruh dokumen rencana dan anggaran pembangunan yang ada di pusat, kementerian/lembaga, dan daerah. Staf harus menguasai betul karakter wilayah kabupaten yang menjadi tanggungjawab dia. Untuk menjaga konsistensi rencana dan realisasi anggaran serta menjamin tercapainya target pembangunan pusat dan daerah, secara berkala Bappenas mengadakan trilateral meeting dengan melibatkan daerah/kabupaten (yang menjadi tanggungjawabnya) dan sektor atau K/L terkait. Staf tersebut juga akan menjadi penghubung antara kabupaten dengan stakeholder pembangunan di pusat, selain itu staf juga bertanggungjawab untuk memberikan bimbingan teknis dan capacity building terhadap sumberdaya di daerah secara kontinyu. Jadi di Bappenas nanti akan ada desk-desk khusus wilayah, propinsi, dan kabupaten dengan isue lintas sektor. Hal ini juga berlaku sama ketika dalam proses penyusunan rencana pembangunan melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang).

    Hajat besar tahunan Bappenas - Musrenbangnas - baru saja berlalu, outputnya jelas RKP atau Rencana Kerja Pembangunan pemerintah untuk tahun 2010. Demikian juga dengan Nota Keuangan RAPBN 2010 juga tengah digodog. Apa isinya? Mungkin saja tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tapi pertanyaan yang utama adalah apakah semua rencana yang ada akan terealisasi? Apakah rencana-rencana tersebut akan dapat dilaksanakan secara optimal? Ataukah rencana-rencana yang disusun oleh resources yang cukup dengan effortPlease feel free. yang besar tersebut akan berhenti pada tataran ilusi? Jujur saya tidak tahu, mungkin mimpi saya adalah petunjuk. Memang saya belum sempat mencari referensi dan teori yang memadai untuk mendukung ‘kebenaran’ mimpi saya tersebut. Jika ada yang punya barangkali berkenan untuk berbagi?

    Akhirnya, semoga saja pemikiran yang muncul dari mimpi ini tidak sekedar menjadi ilusi. Desain yang lebih detail saya masih belum sempat pikirkan, tapi paling tidak ini telah menginspirasi saya untuk studi pendalaman di program doktoral nanti, tadinya sih saya pengennya cuman fokus di public budgeting tapi kayanya mimpi saya lebih menarik. Hehe, boleh kan bercita-cita? Setidaknya sumbangsih pemikiran saya buat optimalnya pembangunan bangsa ini tidak berhenti hanya di tataran ilusi. Semoga berkenan dan terima kasih telah bersedia meluangkan waktu untuk membaca mimpi-mimpi dan ilusi saya.

    Read more!

    Ilusi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan

    Sejak berakhirnya perang dunia kedua wacana dan berbagai literatur tentang perencanaan pembangunan cukup ramai diperbincangkan dan menjadi bahan yang tak kering untuk dikupas. Umumnya perbincangan berkutat seputar bagaimana perencanaan dapat diimplementasikan. Atau secara eksplisit bagaimana perencanaan dapat dilaksanakan sesuai dengan yang ditulis dan direncanakan oleh para perencana yang sudah capek-capek sampai rambut rontok demi menyusun dokumen perencanaan yang terbaik bagi negeri. 

    Telah menjadi isue lama juga, dan hal ini juga sudah dicoba dicarikan solusinya dalam berbagai diskursus mulai dari sambil minum es kelapa muda di pelataran masjid sunda kelapa, di kantin PJP Bappenas, Pujasera DPR, di lantai 13 BEJ, talang betutu, bahkan sampai seminar dan simposium di berbagai hotel berbintang, termasuk di berbagai daerah. Ini-pun baru tahap yang saya pernah ikut terlibat langsung, belum lagi yang dilakukan para senior planner dan para petinggi lainnya. Berbagai advisory dan tool yang paling sakti dan ampuh-pun telah dicoba, ya akhirnya kita hanya bisa pasrah dan menemukan satu kesepakatan dan kesimpulan menarik bahwa ‘konsistensi antara perencanaan dan realisasi pembangunan’ adalah memang bukan budaya asli kita. Kita butuh waktu agak panjang untuk dapat mengadopsi budaya asing ‘konsisten’ tersebut. Hehe, kurang lebih seperti itu kelakar untuk menggambarkan betapa susahnya untuk konsisten pada rencana dan realisasi. 

    Boleh sedikit berbesar hati karena ternyata Indonesia tidak sendirian, menurut referensi yang ada umumnya seluruh negara yang ada di dunia mengalami kendala yang sama utamanya negara-negara berkembang. Jangankan untuk lingkup negara yang cukup besar, untuk lingkup individu saja jika kita mau jujur seringkali kita tidak bisa konsisten dengan rencana-rencana yang sudah kita tetapkan, bahkan seringkali dan banyak yang hidup tanpa rencana yang jelas. Follow with the flow aja, mengalir seperti air, dan ikut kemana arah angin berhembus saja, toh takkan lari gunung dikejar, garam di laut asam di gunung ketemu juga di cobekan, apalagi jika kita hidup ditengah filosofi jawa yang sangat kental yang serba ‘nerimo ing pandum’, dan falsafah hidup lainnya dimana kita tidak banyak dituntut untuk berencana. 

    Arthur Lewis dan Albert Waterson setidaknya mengidentifikasi masalah ketidakkonsistenan dalam rencana dan realisasi ini disebabkan oleh enam hal utama yakni : 1) Seringkali dokumen rencana yang ada hanya menjadi komoditas politik yang utopis; 2) Tidak mendapatkan dukungan politik dan kurangnya kestabilan politik; 3) Minimnya koordinasi antar stakeholder pembangunan; 4) Kurang dukungan data statistik dan informasi yang komprehensif untuk mendukung perencanan yang ideal tapi realistis; 5) Lemahnya kapasitas SDM yang ada; dan 6) Administrasi pemerintahan yang belum tertata dengan baik. 

    Para ahli-pun yang telah mempelajari berbagai contoh dan best practise yang ada, agak sulit untuk dapat merumuskan formula yang mujarab untuk mengatasi persoalan di atas. Akhirnya para ahli hanya banyak berfokus pada teori-teori dan prinsip perencanaan dibanding pada aspek praktiknya. Ya wajar juga, para ahli toh juga manusia yang punya keterbatasan. Tapi paling tidak definisi perencanaan yang dirumuskan oleh Albert Waterston dapat saya jadikan pegangan. Dia menyebutkan bahwa perencanaan pembangunan adalah melihat ke depan mengambil pilihan berbagai alternatif dari kegiatan untuk mencapai tujuan masa depan tersebut dengan terus mengikuti agar supaya pelaksanaannya tidak menyimpang dari tujuan... see read more!

    Read more »

    Read more!

    Saturday, May 23, 2009

    Derajat Keislaman dan Keimanan : Gimana Ngukurnya?

    Ibu saya kebetulan sedang di Jakarta, beliau lumayan sering nengokin saya meski cuman 2-3 hari tapi frekwensi cukup sering sampai dua minggu sekali ke Jakarta, saya sih seneng-seneng aja bisa makan rawon dan pecel kesukaan saya. Kalau jauh-jauhan suka kangen, tapi kalau sudah dekat suka berdebat tak karuan dan tak pernah ketemu karena sama-sama keras prinsip atau keras kepala kali ya? Seperti pagi ini, perdebatan bermula dari konsep tentang persaudaraan dan pertemanan akhirnya melebar ke masalah tentang derajat keislaman dan keimanan. Satu hal yang menurut saya cukup menarik untuk ditulis.


    Ibu saya lahir di Bangkalan Madura, orangtuanya adalah tentara veteran yang sangat keras dan disiplin dalam mendidik anak-anaknya. Sejak lulus SD beliau memasukkan ibu saya ke Pondok Pesantren Wali Songo di Cukir Jombang yang diasuh oleh Kyai besar yakni KH Adlan Ali untuk menempuh pendidikan salafiyah, Pesantren tersebut terkenal dengan sebutan Pondok Cukir. Di pondok tersebut beliau memperdalam Islam sampai tamat Mualimat (setara dengan SMA). Selama masa itu pelajaran reguler yang harus beliau terima dan pelajari adalah baca-tulis Al Qur’an, ilmu tasawwuf yakni ilmu yang mempelajari tentang kedalaman keimanan, ibadah wajib, ibadah sunnah, puasa wajib dan sunnah, selain itu beliau juga mempelajari ilmu alat yakni nahwu dan shorof yang merupakan ilmu tentang tata cara untuk membaca dan menulis kitab kuning serta I’rob dan I’lal sebagai ilmu pelengkap untuk mempelajari nahwu.


    Selain itu beliau juga belajar tentang fiqih yang merupakan ilmu yang mempelajari tentang tatacara dan adab beribadah, Ilmu Falaq, dan yang terakhir adalah ilmu faroidl yang berkutat tentang ilmu waris. Menurut cerita beliau, pada waktu itu ibu saya merupakan santri yang cukup menonjol baik secara akademik maupun karena keaktifannya di berbagai organisasi. Setelah lulus mualimat, ibu menikah dengan abah saya yang berbeda usia sekitar sebelas tahun. Abah adalah lulusan terbaik dari Pondok Tebuireng , Tambak Beras, dan Lasem. Ketiga pondok tersebut sangat terkenal apalagi waktu itu abah belajar langsung dengan Kyai-kyai besar antara lain KH Wahid Hasyim, KH Wahab Hisbullah, KH Yusuf Hasyim, KH Kholik, KH Masduqi, KH Maksum. Ketika masih menjadi santri dan mengajar juniornya (termasuk diantaranya Gus Dur) di Tambak Beras, abah mendapatkan julukan sebagai ‘imam syibaweh’ karena kepiawaiannya dalam ilmu nahwu. Latar belakang cerita tersebut akan menjadi backbone dari apa yang akan coba utarakan melalui tulisan di bawah.


    Seperti layaknya dulu waktu masih kecil, sampai sekarang-pun ketika ketemu yang ditanyakan selalu sama “Gimana sholatnya?” “Ngaji Quar’an-nya masih sempat tiap hari kan? Kalo nggak sempat, baca majemuk aja” kalau abah lebih berat lagi “Gimana sholat malam & sholat sunnah lainnya? Puasanya? Amalan wiridnya masih suka dibaca kan?” Beda dengan orang tua lainnya yang umumnya yang dianyakan “Pangkatmu dah apa nduk? Gajimu dah berapa? blablabla...”. Ya, saya lebih bersyukur orang tua saya tidak banyak menuntut, beliau hanya ingin diyakinkan bahwa anak yang mereka besarkan kelak akan selamat dari api neraka, jika api neraka bisa dijauhi Insya Allah hidup di dunianya juga akan barokah. Demikian kurang lebih saya memaknai maksud orang tua saya atas pertanyaan-pertanyaannya sederhananya.


    Pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang membuka percakapan saya dengan ibu tadi pagi, akhirnya meluas ke obrolan tentang judul tulisan ini yakni tentang derajat keislaman dan keimanan. Lantas tiba-tiba muncul pertanyaan saya, iseng “Kira-kira gimana ngukur derajat keislaman dan keimanan seseorang ya?”. Bagi ibu saya, derajat keislaman dan keimanan adalah tingkatan pemahaman dan penguasaan orang perorang terhadap Islam dan iman sekaligus bagaimana dia menjalankannya dalam hidup. Beliau mengilustrasikan, “Kalo bicara tentang ketekunan dalam beribadah dan kedalaman ilmu tentang Islam termasuk tentang keimanannya, dulu ibu tuh selalu nomor satu, pokoknya yang terbaiklah baik itu diantara teman sealmamater, keluarga, dan lingkungan sekitar”. Beliau melanjutkan ceritanya “Namun begitu bertemu dengan abahmu mendadak ibu kok jadi merasa turun peringkat jadi nomor 20 karena apa yang ibu punyai, yakini, dan percayai tentang itu semua bagaikan terbang ditiup angin karena memang ternyata sangat jauh dan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan yang dipahami dan ketekunan ibadah yang dilakukan oleh abah kalian yang seribu derajat lebih berlipat-lipat dibanding ibu” saya menimpali “Wahwah..bagaimana dengan kita anak-anaknya donk, peringkat 50 kali ya, hehe..” saya ketawa sambil meringis menahan sakit (maklum pas nulis ini lagi di RS).


    “Ya ibu hanya bisa bersyukur anak-anak ibu tidak ada yang macem-macem, makanya pertanyaan ibu juga gak aneh-aneh cukup yang dasar-dasar aja. Ya, sebagai orang desa memang dulu ibu saya sangat berambisi punya anak hafidz (baca : penghafal Qur’an) baginya punya anak yang hafal Al-Quran adalah satu kebanggan yang tak ternilai. Faktanya, di satu sisi ibu cukup bersyukur di sisi lainnya agak-agak prihatin juga karena meski semua anak-anaknya pernah mengecap pendidikan di pondok pesantren (kecuali saya) tapi yang menguasai Nahwu misalnya hanya adik saya Habib itupun tidak mendalam. Yang lain paling banter hanya bisa baca kitab kuning. Apalagi saya, baca Al-Quran aja masih tidak percaya diri apalagi kalau harus bareng-bareng bersama keluarga..hehe.


    Ya, akhirnya diskusi tidak bisa dilanjutkan lebih dalam lagi karena banyak tamu dan dokter sama susternya berseliweran. Tapi jujur saya masih penasaran dan belum puas dengan jawaban ilustratif dari ibu saya tersebut.

    Read more!

    Friday, May 22, 2009

    Perempuan : pengabdian vs aktualisasi; keraguan vs keikhlasan & syukur

    Lahir sebagai perempuan di desa sangatlah sulit dan kadang menjadi beban tersendiri. Saya adalah salah satu perempuan itu. Saya lahir di lingkungan masyarakat yang tradisional atau ndeso. Dalam melihat peran perempuan dan banyak hal lainnya akhirnya saya sampai pada kesimpulan bahwa masyarakat yang ada sangat bias gender dalam mengartikan peran dan fungsi perempuan baik dalam tatanan berkeluarga maupun lingkungan. Fungsi dan peran perempuan dalam perspektif mereka adalah sebatas pada fungsi reproduksi dan fungsi domestik yakni berkutat pada tugas untuk membesarkan anak, mengurus suami, mengatur rumah tangga, memasak, dsb.

    Perempuan harus mau menerima apa yang sudah dititahkan dan diwariskan oleh keluarga dan leluhur bagi dia. Di pundak para perempuan-perempuan tersebut-lah panji-panji keluarga diamanatkan untuk dijaga kelestariannya. Bukan berarti saya menganggap fungsi reproduksi dan domestik tersebut adalah fungsi dan peran yang tidak mulia, tapi saya melihat terdapat ketidakadilan yang sistemik menimpa perempuan-perempuan di sana karena tidak diberikan banyak pilihan untuk beraktualisasi. Saya juga takjub dengan perempuan-perempuan teman saya dulu di SD, SMP, dan SMU yang dengan sukarela melepaskan masa studinya di tengah jalan untuk menikah di usia sangat belia karena permintaan orang tua, padahal secara akademik kemampuan mereka sangat jauh di atas saya.


    Jika-pun akhirnya ada yang memutuskan untuk mengadu nasib ke Jakarta misalnya atau ke kota besar lainnya karena faktor ekonomi keluarga dan dalam waktu tidak lama mereka mampu mengirimkan sejumlah materi untuk orang tuanya, bahkan membelikan rumah, atau mobil, maka sindiran dan ucapan-ucapan nyinyir yang bernada negatif sudah bisa dipastikan langsung menyebar ke seluruh penjuru kampung tanpa ada yang tau siapa yang memulai. Informasi yang menyebar-pun tak tanggung-tanggung yang isinya kurang lebih Si Fulan bekerja tidak benar atau tidak halal. Nah, hal-hal seperti inilah yang menjadi beban perempuan di desa.


    Saya tidak tahu kondisinya di era sekarang ini mungkin saja telah banyak perubahan yang terjadi. Yang jelas saya menghabiskan masa kecil dan remaja saya di mBatu hingga tahun 1996/1997. Setelah itu praktis pulang kampung hanya setahun sekali. Namun demikian pada masa-masa itu adalah masa penting bagi dimulainya cerita saya dan pergulatan pemikiran saya tentang makna perempuan, pengabdian, aktualisasi, keraguan, dan keikhlasan meskipun tidak saya tulis secara utuh di sini.


    Saya adalah sedikit dari perempuan di desa saya yang mencoba menuruti keinginan dan mimpi-mimpi untuk dapat beraktualisasi diri dan mengembangkan pilihan-pilihan atas hidup yang akan saya jalani. Pengambilan keputusan tersebut murni karena kebutuhan untuk aktualisasi diri dan menempa diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan kuat. Tidak ada apapun yang ingin dibuktikan atau disombongkan dari keputusan yang saya ambil tersebut. Saya bersyukur keluarga menjadi pendukung dan motivator yang baik atas rencana saya tersebut meskipun dalam mengiringi perjalanan saya mereka menyisipkan sederet panjang catatan-catatan yang harus saya baca, resapi, dan amalkan. Saya percaya dan saya anggap itu sebagai jimat saya supaya selamat.


    Layaknya yang dialami perempuan lainnya, namun memang ada secuil keragu-raguan dari orang tua saya tepatnya dari Ibu saya tiap kali melepas. “Wah bisa nggak ya anak ini”, mungkin itu kira-kira pertanyaan yang muncul di benak beliau. Keragu-raguan inilah yang seringkali menjadi batu sandungan saya dalam ritme yang coba saya lakoni, dalam beberapa hal saya menjadi sedikit peragu dan terlalu hati-hati dalam mengambil keputusan. Namun memang dalam hidup kita tidak boleh ragu-ragu, setidaknya saya mencoba meyakinkan diri saya sendiri. Katakan ya jika kamu yakin itu benar dan katakan tidak jika kamu tidak yakin itu baik. “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”. (Qs.Al Baqarah 2: 147)


    Selanjutnya, supaya tidak ragu-ragu ikhlas-lah kamu. Islam juga mengajarkan bahwa semua ibadah (termasuk belajar, bekerja, dan beraktivitas lainnya) hendaknya dilakukan semata-mata ikhlas karena Allah (QS Al-An’am, 6:162-163). Tak terkecuali ketika kita sedang ragu dalam menjalankan ibadah dalam arti luas tersebut. Karena hanya dengan niat yang terikhlaslah, akan terjamin kemurnian ibadah yang akan membawa pelaksanaannya dekat kepada Allah. Tanpa adanya keikhlasan hati, mustahil ibadah akan diterima Allah (QS Al-Bayyinah, 98:5).


    Rasulullah saw berpesan, “Barangsiapa memiliki hati yang baik maka Allah menyukainya...”, “Barang siapa memberi karena Allah, menolak karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikah karena Allah, maka sempurnalah imannya,”. Karena itulah, Islam tidak mendefinisikan Ikhlas sebagai sikap pasrah, putus asa, statis, ataupun menyerah. Melainkan ikhlas adalah sikap progresif yang tidak menyerah pada keadaan termasuk keragu-raguan. Selalu berbuat untuk kebaikan orang lain semata-mata sebagai bentuk penghambaan atau penyerahdirian kepada Allah.


    Yang terakhir adalah syukur, “Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (QS Yunus : 58). Bersyukur dengan melaksanakan ajaran-ajaran Islam baik pada tataran pribadi, keluarga, dan masyarakat, berarti juga menjaga nikmat Allah. Terima kasih Allah atas berbagai nikmat dan kemudahan yang Engkau karuniakan kepada hambaMu ini. Saya juga sangat bersyukur memperoleh banyak kesempatan untuk banyak belajar dari kawan-kawan, senior-senior, guru-guru yang ada disekeliling saya selama berproses sekian lama, dimanapun saya berada. Saya juga belajar banyak tentang konsep ikhlas dan syukur dari teman-teman secara tidak langsung..seperti apa sih..karena memang tidak mudah.."Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali jika (pelaku) amal itu ikhlas dan mencari keridhaan Allah dengannya." (HR. Nasa'i)..ya saya masih akan terus belajar, termasuk belajar untuk menjadi muslimah yang lebih baik.


    Apa yang ingin saya sampaikan dari tulisan saya adalah, meskipun secara kultural masih sulit, perempuan akan mendapat tempat sesuai proporsi dan kapasitasnya tanpa perlu untuk memaksakan diri melalui sistem atau regulasi. Yakinlah bahwa kita punya kapasitas yang cukup dan mampu berkompetisi secara fair meski kadang dunia selalu saja tidak fair ke kaum perempuan. Yakinkan diri sendiri mau mengabdi untuk keluarga dan suami terlebih dahulu atau aktualisasi dulu? Jika masih ragu-ragu yakinkan kembali pada tujuan, mencoba ikhlas, dan terakhir bersyukur atas apapun yang telah kita capai sebagai perempuan meski hanya sebagai ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga adalah karier yang sangat mulia, penting, dan menentukan karena ditangan dia-lah pemimpin atau penjahat besar dapat terlahir. Jadi baik-baiklah sama perempuan.


    Tulisan ini sengaja ditulis untuk memotivasi diri sendiri dan teman-teman dekat, tidak ada maksud untuk menyudutkan pihak-pihak tertentu.

    Read more!

    Monday, May 18, 2009

    Merah, kuning, hijau, putih, biru bangsaku

    -->
    Politik praktis yang dipertontonkan oleh elite-elite partai belakangan melahirkan dinamika yang cukup tinggi dan memunculkan dua perspektif yang berlawanan sekaligus, menarik di satu sisi dan memuakkan di sisi lainnya. Menarik karena perubahannya yang demikian cepat, memuakkan karena perubahan sudah tak mengenal ideologi dan warna yang dipegang. Perubahan yang dimaksud disini saya artikan sebagai suatu sikap pragmatis yang diambil dengan derajat yang berbeda dan berlawanan 180°.
    Dalam perspektif saya, partai politik merupakan kendaraan untuk menyalurkan aspirasi politik sekaligus sebagai kendaraan ideologi bagi kader, simpatisan, konstituen partai tersebut. Selain sebagai kendaraan, idealnya partai politik juga merepresentasikan ideologi partai yang dianutnya secara konsisten dan tidak terbatas hanya pada simbol-simbol. Adalah tepat pada proporsinya jika kemudian terdapat partai dengan warna yang jelas merah, kuning, hijau, putih, dan biru. Nyatakan merah jika memang merah, hijau jika memang hijau, dan nyatakan tengah jika memang dari awal sudah mendeklarasikan dirinya sebagai partai tengah, tidak ada dusta diantara kita. Kejelasan sikap dan warna politik ini menurut saya baik sekaligus sebagai edukasi politik bagi masyarakat.
    Terlepas dari perdebatan tentang politik aliran, Islam Yes Partai Islam No, Poltik abangan, dan sebagainya. Sekarang yang terjadi malah terbalik-balik, yang merah mengaku-aku bisa hijau, yang hijau bisa menjadi tengah, dan seterusnya. Belum lagi menjelang penentuan capres cawapres yang memanas sejak sebulan lalu. Elite partai A dengan mudahnya berkunjung ke partai B setelah menandatangani piagam koalisi dengan partai A, dan menebar janji-janji melalui safari politiknya dengan partai lainnya. Apa yang mau ditunjukkan oleh para elite tersebut? Sungguh bangsa ini telah kehilangan nuraninya. Nurani untuk berpolitik secara santun, berpolitik yang penuh martabat dan nilai-nilai. Keanggunan dan kecerdasan yang selama ini menjadi identitas bangsa kita juga mulai luntur. Apalagi yang bisa kita banggakan?
    Partai tak lebih dari sekedar kendaraan politik, semuanya ketahuan belangnya jika telah menyangkut urusan bagi-bagi kue kekuasaan dan urusan perut. Tidak ada ideologi disana. Yang merah, kuning, hijau, putih, dan biru semua sama tidak ada yang lebih baik atau lebih ideal. Politik sudah tidak lagi menyangkut surga atau neraka, tapi murni urusan materi duniawi alias urusan perut. Tidak ada merah untuk memperjuangkan kaum abangan, hijau untuk memperjuangkan kaum Islam, tidak ada. Yang ada hanya untuk menyelamatkan dapur kekuasaan masing-masing kelompok yang mengaku-aku mewakili atau representasi dari kalangan merah, kuning, hijau, putih, dan biru. Saya garis bawahi disini, setidaknya hingga saat ini partai tidak mengenal ideologi, ideologi hanyalah alat jualan politik mereka. Jadi jika orientasi anda saat ini adalah kekuasaan masuklah partai tapi kalau ideologi yang menjadi orientasi saran saya jangan karena ideologi anda perlahan tapi pasti akan terkikis oleh sistem dan lingkungan partai yang sangat pragmatis untuk kepentingan kekuasaan sesaat. Ya untuk saat ini kita tak dapat berbuat banyak dengan sistem dan kondisi kepartaian yang ada.
    Saya ambil ilustrasi untuk mendukung premis yang saya ajukan, setidaknya masih lekat dalam ingatan kita slogan salah satu partai menjelang pileg lalu, “emang biru, kuning, merah, hijau bisa Partai XX? kalau untuk indonesia yang lebih baik kenapa tidak?”. Partai yang diawal gebrakannya lalu mendapatkan simpati banyak dari masyarakat kota karena dinilai lebih bersih dan amanah dalam perjalanannya mengalami kebingungan. Di parlemen dia banyak menjadi silent party yang hanya bisa mencari aman dan mencari kesempatan. Sementara sangat berbeda dengan mesin militannya di grass root yang terus ekspansif bahkan sampai menyusupi lingkungan kampus. Termasuk dalam perjalanan koalisi capres-cawapres yang baru saja berlangsung beberapa hari kemarin, karena merasa ditinggal dan tidak diajak komunikasi oleh “sang calon mempelai” para elitenya sontak berang tapi itupun hanya sesaat, setelah konon dipastikan akan mendapat jatah lima kursi menteri mendadak jadi anak baik-baik kembali.
    Insya Allah tulisan saya ini cukup obyektif. Tidak ada tendensi untuk menjatuhkan partai politik tertentu selain sebagai bahan evaluasi untuk yang merasa dirinya masih amanah dan catatan untuk sistem politik dan kepartaian yang lebih baik ke depan. Semoga berkenan.

    Read more!

    Friday, May 15, 2009

    Ternyata Sakit Itu Nggak Enak Banget

    Pengantar : Ini satu-satunya tulisan saya yang out of topic dan sangat personal, sengaja ditulis sebagai pengingat untuk diri sendiri ^_^

    “...Typhus abdominallis merupakan penyakit peradangan pada usus yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Typhus merupakan salah satu bentuk salmonellosis yaitu penyakit yang disebabkan oleh infeksi Salmonella. Inkubasi kuman penyebab typhus dapat terjadi melalui makanan dan minuman yang terinfeksi oleh bakteri Salmonella typhosa. Kuman ini masuk melalui mulut terus ke lambung lalu ke usus halus. Di usus halus, bakteri ini memperbanyak diri lalu dilepaskan kedalam darah, akibatnya terjadi panas tinggi. Penyakit typhus abdominallis sangat cepat penularanya yaitu melalui kontak dengan seseorang yang menderita penyakit typhus, kurangnya kebersihan pada minuman dan makanan, susu dan tempat susu yang kurang kebersihannya menjadi tempat untuk pembiakan bakteri salmonella, pembuangan kotoran yang tak memenuhi syarat dan kondisi saniter yang tidak sehat menjadi faktor terbesar dalam penyebaran penyakit typhus...” Hembing : 2006

    Jujur, ngeri waktu baca definisinya. Baca di wikipedia lebih ngeri lagi. Masa iya separah itu? Kata Dokter Jusi Spesialis Penyakit dalam JMC sewaktu menginterpretasikan hasil tes darah saya Senin lalu, hasilnya masih negatif tapi kalo dilihat lebih dalam memang ada peningkatan...(apa, lupa) meskipun masih sangat kecil, tapi memang menunjukkan ada bakteri di usus. Kemudian ketika saya tanyakan tentang hasil diagnosa penyakit saya, sang dokter menjawab, kemungkinan infeksi usus yang berpotensi gejala typhus. Kemudian dia bikinkan surat ijin untuk istirahat selama seminggu tanpa saya minta, tulis resep untuk anti demam, obat pusing, dan antibiotik, dia juga sertakan no hpnya untuk dihubungi kembali pada hari Rabu jika tidak ada perbaikan berarti. Mengingat banyaknya PR yang musti diberesin, saya sih pengennya langsung dirawat biar cepet pulih, jadi saya tanyakan “jadi dok sekarang saya nggak dirawat?” sambil tersenyum ibu dokternya jawab “belum perlu, kita tunggu progress-nya sampai rabu besok ya. Hasil lab-nya disimpan disini aja ya, nggak usah dibawa pulang". Saya hanya mengiyakan pasrah.

    Alhamdulillah demam dan pusingnya berangsur hilang begitu mulai mengkonsumsi obat yang dianjurkan. Paling tidak hal tersebut berlangsung hingga Kamis siang. Karena tidak bisa diam, memang dari hari Selasa malam sampai Kamis saya mulai beraktivitas seperti sebelum sakit (meski di rumah) mulai baca bacaan wajib, nyicil thesis, ngetik-ngetik beberapa assignment dan kebetulan ada adik saya (dia biasa dipanggil Gus Habib) dari Batu dan istrinya (Rere) dari Serang
    datang Kamis paginya, dia bawa anaknya pula, mukanya lucu banget, jadi saya gendong-gendong keluar masuk kamar. Trus naik-turun tangga juga, ya bisa kita duga malemnya demam lagi meski dah minum obat. Bi Komang sampai heran Jumat paginya “mba umi kok sakit lagi, padahal obatnya belum abis”. Saya cuman pasrah mendengar pertanyaannya yang terdengar seperti ledekan. Moga aja nggak sampai gejala typhus, minggu depan soalnya mau rafting, ^_^. Kalo denger ini pasti Mas Udin bisa mencak-mencak, makanya saya upayakan kurangi komunikasi dengan dia semaksimal mungkin, bukannya apa soalnya kakak saya yang satu ini cerewet banget, he5.

    Coba saya runut-runut kebelakang kira-kira apa sebab bisa sakit. Sekitar akhir bulan yang lalu memang dah kerasa badan nggak fit. Tapi saya bisa bertahan karena makan masih tepat waktu dan istirahat cukup (tidak begadang). Rabu saya ngantor untuk kegiatan Bank Dunia di Cipete seharian, makan siang sama mbak ika temenku di reg ional monitoring pake gado2 & waktu itu emang tempatnya deket kali & banyak laler, sedotan jus-nya mbak ika aja dilalerin, tapi dia sehat2 saja karena Selasa dia telpon nanyain untuk rencana meeting di BEJ, he5. Malemnya ketemuan sama temen2 indomonev di PP makan tepat waktu. Nah, Kamisnya ada meeting komunitas evaluator di Bappenas, acaranya abis magrib, harusnya sambil rapat kita makan malam tapi berhubung pak dadang tiba-tiba menunjuk saya untuk memoderasi forum jadi dengan terpaksa makan ditunda. Besok paginya sarapan pake mantau dua biji dan susu coklat, nah makan siangnya telat lagi, baru jam 13.45 karena nyiapin materi presentasi untuk rapat di Bappenas jam 15.00. Itupun akhirnya nggak habis karena tiba-tiba Donna telpon “Mbak umi rapatnya dimajuin jam 14.00 bisa nggak?” saya coba jelaskan kayanya nggak mungkin eh akhirnya pak dadang langsung yang bicara “Umi, saya jam 15.00 ada rapat dengan UNDP, kesini aja sekarang ya?” tanpa babibu saya langsung jawab “Baik pak, siap meluncur”. Nungguin taksi di DPR kelamaan, saya ajak si Karim untuk cari taksi sambil jalan aja. Praktis dari DPR baru jalan jam 14.30, di taksi saya telpon si Nuki untuk segera meluncur ke Bappenas, dia ternyata lagi rapat di Red top pecenongan. Oya rapat di Bappenas ini dalam rangka Bintek Perencanaan Kabupaten Wajo Sulsel, timnya saya, karim, nuki, pak dadang, pak agus, dan pak ewing. Karena sampai Bappenas baru jam 15.00, akhirnya kita menunggu pak dadang selesai rapat dengan UNDP. Lumayan nambah-nambah bahan untuk dipaparkan “Ayo karim, nuki, data apalagi yang mau dimasukkan?”. Lohloh saya tadi mau cerita apa kok jadi melebar kemana2..

    Oya lupa cerita, Kamis malam kakak saya Mas Oviexer yang seniman dan tinggal di Semarang datang bersama istrinya (Kalo sama kakak saya yang satu ini saya lumayan dekat, bahkan kita sering ngomongin mas udin, he5..pssst). Dia menginap di tempat tinggal sepupu di Wijaya. Paginya kita dah janjian mau makan malam di Grand Indonesia. Mereka jemput saya di Bappenas jam 17.30. Nah pas keluar gedung Bappenas tiba-tiba Saiful, sepupu yang madura banget ini nyeletuk “eh kita nggak ajak mas udin sekalian?” saya langsung telpon mas udin. Baliklah kita ke Bappenas untuk jemput mas udin. “Mas kita mau makan ke GI, sampean mau ikut kan?” tanya mas Oviexer “ngapain, makan di rumah aja, mbak mel masak banyak” jawab mas udin ketus, semua langsung melongo nggak ada yang berani nyela. Seperti biasa cuman saya yang berani protes “lho kita ini dah janjian mau makan ke GI lho, lagian macet, voting aja siapa yang mau ke GI & siapa yang mau pulang?”. Sudah tau bakalan kalah, mas udin nyeletuk “ya udah aku naik taksi aja” karena nggak tega Saiful nyeletuk “lho, harus ikut yang tua donk, gini aja kita anterin dulu mas udin pulang baru kita makan di luar”. Apaboleh buat akhirnya saya makan saja persediaan cemilan di tas sampai tandas, tak cukup akhirnya beli bakpao di jalan. Dan bener, jalanan macet sekali, praktis sampai rumah dah jam 19.30. Magrib lewat. Badan mulai kerasa nggak enak, makan masakan bi komang, sholat, dan langsung tidur. Yang waktu itu nggak terpikirkan kenapa saya, mas oviex, dan mbak nuning (istrinya) nggak turun aja naik taksi ya? Donkdonkdonk...

    Sabtu seharian istirahat juga di rumah, mas udin, mbak mel, ina, leo (istri dan anak-anak mas udin), mas oviex, mbak nuning, saiful, berangkat beriringan ke Bandung pagi-pagi untuk silaturrahmi ke rumah mbak neni (kakak mbak nuning) dan cari pembantu. Mereka maksa ngajak, saya pasang muka sakit “waduh maaf, salam aja buat mbak neni”. Di telpon sih mbak neni juga janji mau bawain bunga rosella, katanya bagus buat penderita maag.

    Nah, kesalahan berikutnya adalah minggu siang abis dhuhur dan makan siang saya nekat ke ITC Kuningan kebetulan beras, dll abis (padahal-thanks to sutiyoso-daerah rumah dikepung sama hypermarket carrefour pasar minggu, pejaten village, dan kalibata mall). Pesan taksi, saya ajak bi komang dan anaknya si putri. Wew, ternyata ramenya bikin pusing. Pas belanja di carrefour di bagian food & beverage saya beli tahu sumedang yang masih mengepul panas “wah kayanya enak nih” tadinya mau makan disitu tapi masih panas banget akhirnya dijepret alakadarnya dan digabung dengan barang lainnya di kereta belanjaan. Nah pas mau pulang sambil nungguin taksi saya makan tahu itu, sempat nggak yakin meski sebelumnya saya dah cuci tangan dengan aqua tapi saya coba yakinkan diri sendiri “ah gpp”. Saya makan habis 4-5, Putri makan habis 3, Bi Komang nggak mau. Bener aja sampai rumah langsung pusing hebat dan perut sebelah kanan agak-agak nyeri. Saya yang pada dasarnya tidak suka kebisingan, memang tiap kali ke mall yang rame suka pusing, jadi saya pikir ini pusing dan maag biasa. Herannya Putri kok gpp ya, apalagi dia nggak cuci tangan, he5..hebat juga daya tahan tubuh anak itu padahal baru umur 3 tahun.

    Senin pagi saya memutuskan untuk di rumah saja, dan betul sekitar jam 9 pagi setelah sarapan mendadak lemes pengen tidur lagi dan ternyata demam cukup tinggi sampai 38 derajat. Saya minta bi Komang bikin bubur. Meski lidah dah kerasa pahit, siangnya saya paksain makan bubur banyak-banyak dan setelah sekian lama tidak mengkonsumsinya lagi akhirnya saya coba minum redoxon, cuman karena nggak pengen sakit. Tapi rupanya tindakan itu telat karena abis itu demam lagi, dan pusiiiiiiingnya hebat. Saya cuman kawatir akibat pusing ntar ada bad sector lagi, udah bulan lalu abis jatuh kepala duluan yang kena ^_^. Sorenya saya telpon RS JMC janjian sama spesialis penyakit dalam. Dan seperti telah diceritakan di atas rupanya saya dah ada firasat bakalan kena penyakit ini from the first bite pas makan tahu sumedang.. ^_^.

    Duluuu banget sewaktu masih kuliah di Jember, saya tinggal di Asrama Putri Whiwasya dan menyaksikan bahkan seringkali menunggui teman-teman yang tumbang bergantian terkena penyakit yang katanya khas anak kost tersebut. Alhamdulillah meskipun dengan setumpuk aktivitas saya belum pernah kena penyakit itu atau penyakit yang aneh-aneh selain pusing. Saya memang paling ngeri kalo harus ke rumah sakit, makanya dalam doa-doa saya permohonan sehat tak pernah ketinggalan. Selain itu saya juga tidak suka jajan sembarangan dan suka pilih-pilih makanan yang sesuai dengan selera.

    Yang terakhir ini rupanya yang justru akhirnya mencelakai saya, seringkali saya lebih memilih untuk menunda makan jika tak sesuai selera, hal inipun berlangsung ketika telah bekerja. Tahun lalu usus buntu saya harus dioperasi karena infeksi. Dugaan saya karena kebanyakan minum redoxon tapi pasokan makan dan minum nggak lancar.

    Dulu, untuk menunjang aktivitas yang sangat tinggi saya biasa minum vitamin C 1000mg dan minum air putih dengan porsi sangat besar, teman-teman di kantor suka mengatai gelas saya kaya akuarium atau menara air. Apalagi kalo dah mulai pilek biasanya saya minum vitaminnya dua kali sehari. Asumsi saya dengan minum vitamin dan air putih yang banyak maka badan akan fit dan penyakit apapun akan malas menghampiri. Saya memang suka main asumsi tanpa baca referensi yang memadai. Bisa dibayangkan di Bappenas dari pagi sampai malam kemudian kerja dilanjutkan di workshop di daerah Wijaya sampai jam 12 bahkan kadang sampai jam 3 pagi, belum lagi kuliah malam, perjalanan dinas ke daerah, sabtu-minggu juga masih harus lembur, dll. Memang benar, tahun-tahun itu aman, karena disiplin minum vitamin dan air putih masih bisa dijaga dan teman-teman kantor waktu itu pada doyan makan dan selalu ada saja makanan yang menarik selera, akhirnya tak ada kendala berarti terkait makanan.

    Temen-temenpun akhirnya banyak yang meniru kebiasaan saya, beli gelas gede-gede dan minum redoxon, he5. Nah ketika ada penugasan di DPR, waktu menjadi sangat mahal dan kebiasaan-kebiasaan itu praktis hilang kecuali minum redoxon saja. Makan pagi yang hanya segelas susu dan biskuit dan makan siang yang pasti telat termasuk makan malamnya yang menjadi rutinitas baru itu akhirnya membawa saya ke meja operasi appendix atau usus buntu. Masih inget banget saya waktu 10 menit sebelum operasi senior2 banyak yang nelpon tentang acara seminar alumni besoknya yang jadi tanggungjawab saya untuk beresin. Thanks to Ayun, I owe you...mas udin juga yang nganterin shubuh2 sampe mobilnya baret, he5. Overall, praktis setelah operasi, saya nggak pernah lagi minum redoxon, saya memang suka trauma. Termasuk ketika motor saya habis ditabrak, praktis dah gak mau menyentuh motor lagi termasuk naik ojek. Jadi setelah episode khusus usus buntu, motor ditabrak, dan potensi gejala typhus mudah2an cukup bikin kapok dan gak ada edisi telat makan lagi. Harus sehat jangan sakit lagi.

    Yah, sakit memang nggak enak banget, tapi kita baru ngerasa sehat itu enak kalo dah sakit. Allah yaa rahman yaa rahim, terima kasih.

    Read more!

    Get awesome blog templates like this one from BlogSkins.com Get awesome blog templates like this one from BlogSkins.com