Merah, kuning, hijau, putih, biru bangsaku
Jellyjuice Column
"A slice of thought with Indonesia topping and jellyjuice sauce, spicy yet releasing!"
Umihanik a.k.a Jellyjuice
Chat Corner
Paper Collections
Also available at : Virtual Mate
Previous Post Credit
My Engine : Blogger
|
Monday, May 18, 2009Merah, kuning, hijau, putih, biru bangsaku
Politik praktis yang dipertontonkan oleh elite-elite partai belakangan melahirkan dinamika yang cukup tinggi dan memunculkan dua perspektif yang berlawanan sekaligus, menarik di satu sisi dan memuakkan di sisi lainnya. Menarik karena perubahannya yang demikian cepat, memuakkan karena perubahan sudah tak mengenal ideologi dan warna yang dipegang. Perubahan yang dimaksud disini saya artikan sebagai suatu sikap pragmatis yang diambil dengan derajat yang berbeda dan berlawanan 180°.
Dalam perspektif saya, partai politik merupakan kendaraan untuk menyalurkan aspirasi politik sekaligus sebagai kendaraan ideologi bagi kader, simpatisan, konstituen partai tersebut. Selain sebagai kendaraan, idealnya partai politik juga merepresentasikan ideologi partai yang dianutnya secara konsisten dan tidak terbatas hanya pada simbol-simbol. Adalah tepat pada proporsinya jika kemudian terdapat partai dengan warna yang jelas merah, kuning, hijau, putih, dan biru. Nyatakan merah jika memang merah, hijau jika memang hijau, dan nyatakan tengah jika memang dari awal sudah mendeklarasikan dirinya sebagai partai tengah, tidak ada dusta diantara kita. Kejelasan sikap dan warna politik ini menurut saya baik sekaligus sebagai edukasi politik bagi masyarakat.
Terlepas dari perdebatan tentang politik aliran, Islam Yes Partai Islam No, Poltik abangan, dan sebagainya. Sekarang yang terjadi malah terbalik-balik, yang merah mengaku-aku bisa hijau, yang hijau bisa menjadi tengah, dan seterusnya. Belum lagi menjelang penentuan capres cawapres yang memanas sejak sebulan lalu. Elite partai A dengan mudahnya berkunjung ke partai B setelah menandatangani piagam koalisi dengan partai A, dan menebar janji-janji melalui safari politiknya dengan partai lainnya. Apa yang mau ditunjukkan oleh para elite tersebut? Sungguh bangsa ini telah kehilangan nuraninya. Nurani untuk berpolitik secara santun, berpolitik yang penuh martabat dan nilai-nilai. Keanggunan dan kecerdasan yang selama ini menjadi identitas bangsa kita juga mulai luntur. Apalagi yang bisa kita banggakan?
Partai tak lebih dari sekedar kendaraan politik, semuanya ketahuan belangnya jika telah menyangkut urusan bagi-bagi kue kekuasaan dan urusan perut. Tidak ada ideologi disana. Yang merah, kuning, hijau, putih, dan biru semua sama tidak ada yang lebih baik atau lebih ideal. Politik sudah tidak lagi menyangkut surga atau neraka, tapi murni urusan materi duniawi alias urusan perut. Tidak ada merah untuk memperjuangkan kaum abangan, hijau untuk memperjuangkan kaum Islam, tidak ada. Yang ada hanya untuk menyelamatkan dapur kekuasaan masing-masing kelompok yang mengaku-aku mewakili atau representasi dari kalangan merah, kuning, hijau, putih, dan biru. Saya garis bawahi disini, setidaknya hingga saat ini partai tidak mengenal ideologi, ideologi hanyalah alat jualan politik mereka. Jadi jika orientasi anda saat ini adalah kekuasaan masuklah partai tapi kalau ideologi yang menjadi orientasi saran saya jangan karena ideologi anda perlahan tapi pasti akan terkikis oleh sistem dan lingkungan partai yang sangat pragmatis untuk kepentingan kekuasaan sesaat. Ya untuk saat ini kita tak dapat berbuat banyak dengan sistem dan kondisi kepartaian yang ada.
Saya ambil ilustrasi untuk mendukung premis yang saya ajukan, setidaknya masih lekat dalam ingatan kita slogan salah satu partai menjelang pileg lalu, “emang biru, kuning, merah, hijau bisa Partai XX? kalau untuk indonesia yang lebih baik kenapa tidak?”. Partai yang diawal gebrakannya lalu mendapatkan simpati banyak dari masyarakat kota karena dinilai lebih bersih dan amanah dalam perjalanannya mengalami kebingungan. Di parlemen dia banyak menjadi silent party yang hanya bisa mencari aman dan mencari kesempatan. Sementara sangat berbeda dengan mesin militannya di grass root yang terus ekspansif bahkan sampai menyusupi lingkungan kampus. Termasuk dalam perjalanan koalisi capres-cawapres yang baru saja berlangsung beberapa hari kemarin, karena merasa ditinggal dan tidak diajak komunikasi oleh “sang calon mempelai” para elitenya sontak berang tapi itupun hanya sesaat, setelah konon dipastikan akan mendapat jatah lima kursi menteri mendadak jadi anak baik-baik kembali.
Insya Allah tulisan saya ini cukup obyektif. Tidak ada tendensi untuk menjatuhkan partai politik tertentu selain sebagai bahan evaluasi untuk yang merasa dirinya masih amanah dan catatan untuk sistem politik dan kepartaian yang lebih baik ke depan. Semoga berkenan.
|
<< Home