Krisis Kesehatan Global dan Evaluasi atas Kebijakan Pembangunan
COVID-19 memukul ekonomi dunia yang sudah lemah dan rapuh. Pertumbuhan ekonomi global pada 2019 yang melambat sejak krisis keuangan global 2008/2009 makin terpuruk. COVID-19 telah menjerumuskan ekonomi dunia ke dalam resesi dengan konsekuensi mendalam dan tingkat pengangguran yang sangat tinggi. Langkah-langkah yang diperlukan untuk mengendalikan penyebaran penyakit melalui karantina, pembatasan perjalanan, dan penutupan/penguncian wilayah menurunkan permintaan terhadap pasokan barang dan jasa yang cukup signifikan. Kegiatan ekonomi di bidang transportasi, perdagangan ritel, rekreasi, jasa perhotelan, dan pariwisata telah terpukul. Jatuhnya pasar saham merupakan respons ekonomi langsung/tak langsung atas kebijakan penanganan COVID-19 yang tidak jelas arahnya.
Gangguan rantai pasokan menghentikan industri manufaktur dan membuat harga-harga komoditas berjatuhan, khususnya minyak, semakin memperparah dampak ekonomi pandemi. Kondisi ini mengguncang pasar keuangan, memperketat kondisi likuiditas di banyak negara, menciptakan arus keluar modal yang belum pernah terjadi sebelumnya dari negara-negara berkembang. Kondisi ini memberikan tekanan pada pasar valuta asing dan meninggalkan beberapa negara yang mengalami kekurangan dolar. Mata uang lokal yang lemah telah membatasi kemampuan pemerintah untuk stimulus fiskal pada skala yang diperlukan untuk menstabilkan kembali ekonomi dan untuk mengatasi krisis kesehatan juga kemanusiaan.
Situasi di negara-negara berkembang, khususnya LDC (Least Developed Countries), LLDC (Landlocked Developing Countries (LLDC) dan SIDS (Small Island Developing States), perlu mendapat perhatian serius. Penyebaran virus ke negara-negara ini akan semakin melemahkan situasi makroekonomi yang sudah rapuh, di mana akumulasi utang telah melampaui pertumbuhan pendapatan bahkan sebelum krisis. Selain itu, negara tersebut umumnya belum mempunyai standar kebersihan dan sanitasi yang layak. Dasawarsa capaian pembangunan dalam mengatasi kemiskinan kembali terhempas, ketidaksetaraan dan ketimpangan makin memburuk. Gangguan pasokan makanan makin memperparah asupan nutrisi, indikasi gizi buruk makin dalam menimpa kelompok paling rentan.
Terkait krisis pembangunan yang kompleks dan pelik di atas, Pemerintah membutuhkan masukan dan dukungan dari para pakar serta masyarakat sipil untuk meredefinisi pembangunan, menginformasikan dan melegitimasi masalah, meninjau aksi kebijakan, dan evaluasi. Bentuk masukan tersebut penting utamanya untuk melegitimasi pilihan kebijakan yang diambil pemerintah dalam situasi berisiko tinggi. Guna menjaga kualitas dan kebermanfaatan pilihan kebijakan yang diambil; ruang masukan dan dukungan tersebut hendaknya diisi oleh para pakar dan masyarakat sipil dengan informasi dan bukti dukung yang kuat (evidence). Artinya pemerintah memerlukan dasar untuk pengambilan keputusan kebijakan yang sehat. Pemahaman oleh masyarakat sipil dan keahlian dari para pakar terhadap aspek multidimensionalitas pembangunan dan koridor-koridor untuk mendapatkan informasi dan bukti dukung yang kuat menjadi kunci.
Seiring meningkatnya kebutuhan publik terhadap proses pembuatan kebijakan berbasis bukti, maka para pakar dan masyarakat sipil (yang membutuhkan keterampilan untuk menyederhanakan dan mengkomunikasikan informasi teknis) serta para pembuat kebijakan (yang perlu menyeimbangkan pertimbangan politik dan tanggung jawab dalam penggunaan informasi ilmiah dan teknis) perlu melengkapi dirinya dengan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan yang memadai tentang multidimensionalitas pembangunan, paradigma/sudut pandang melihat kondisi/persoalan, dan bagaimana mengevaluasinya. “Evaluasi” di sini berguna untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan transparansi, akuntabilitas, dan pembelajaran atas proses pembangunan. Ranah masukan dan bukti dukung yang dapat dikontribusikan idealnya mencakup relevansi kebijakan, efektivitas, efisiensi, keberlanjutan, memberikan dampak kepada masyarakat langsung, dan koherensi kebijakan sebelum kemudian diputuskan secara politis/teknis.
Relevan dengan kebutuhan dan potensi di atas; pemerintah, para pakar, dan masyarakat sipil dapat secara kolaboratif mengambil keputusan-keputusan yang sifatnya strategis hingga teknis misalnya terkait bagaimana menentukan tingkat keparahan COVID-19 dalam suatu populasi, memproyeksikan lintasannya dari waktu ke waktu, dan memperkirakan dampak terburuk yang mungkin timbul. Baik mulai dari tahap pencegahan hingga mitigasi dengan lebih logis dan terukur.
Lebih jauh, evaluasi pembangunan cukup sentral perannya utamanya untuk mendukung inovasi dan mendampingi seluruh proses adaptasi dari fase krisis ke recovery dan seterusnya. Evaluasi pembangunan memungkinkan proses pengamatan terhadap situasi dan berbagai realitas yang muncul dan terus bergerak dinamis dalam lingkungan yang kompleks. Inovasi-inovasi di sini dapat berupa penemuan proyek baru, program, produk, perubahan organisasi, reformasi kebijakan, dan intervensi sistem yang lebih mutakhir. Perubahan muncul dari interaksi dan lintasan waktu yang menghasilkan pembelajaran, evolusi, dan pengembangan. Inovasi ini diperlukan untuk menjawab kompleksitas dan dinamika lingkungan yang terjadi. Inovasi perlu dilakukan secara terus menerus supaya adaptif terhadap dinamika masalah dan potensi ketidakpastian (Patton, 2010). Dengan demikian para pakar, masyarakat sipil, dan pemerintah sebagai pemangku kepentingan utama pembangunan mempunyai navigasi yang jelas untuk mengambil keputusan yang tepat termasuk dalam situasi tersulit.
Kita belajar bahwa di beberapa negara yang mengalami krisis COVID-19 merespon dengan dasar emosi bukan data. Ketakutan dan kecemasan menjadi dasar kebijakan penanganan krisis yang spontan dan irasional. Ketakutan dan kecemasan bisa menimpa siapapun termasuk dari para pemberi rekomendasi kebijakan (para pakar, masyarakat sipil, juga kalangan pemerintah sendiri). Rekomendasi kebijakan yang tidak didasari oleh bukti atau evaluasi yang memadai melainkan oleh emosi yang dilatari pengalaman pribadi seringkali menjadi bagian dari proses kebijakan dan digunakan sebagai strategi untuk mencari simpati dari masyarakat luas (Stone 2013)(Durnova 2019).
Sementara beberapa negara lainnya proses penanganan krisis COVID-19 dilakukan berbasis bukti, kita bisa ambil contoh misalnya, pemerintah Taiwan, Singapura, dan Korea Selatan yang bertindak cepat untuk memberikan informasi dan pengujian secara masif untuk penduduknya (Apuzzo dan Gebrekidan 2020) sehingga tingkat infeksi dan fatalitas bisa dikendalikan. Sebaliknya, kita bisa sandingkan dampaknya dengan kebijakan serampangan dan kontradiktif yang dilakukan pemerintah AS yang justru menegasikan data (Lopez 2020). Contoh konkrit adalah saat Presiden Trump merekomendasikan untuk mengkonsumsi klorokuin sebagai obat baru yang berpotensi untuk melawan virus corona. Lalu seperti dilaporkan oleh CNN, “Para pejabat kesehatan di Nigeria telah mengeluarkan peringatan tentang bahaya konsumsi klorokuin setelah mereka menemukan tiga orang di negara itu overdosis setelah mengkonsumsinya. Mereka terdorong mengkonsumsi setelah mendengar komentar Presiden Trump tentang penggunaannya untuk mengobati coronavirus” (Busari dan Adebayo 2020). Presiden Trump telah beberapa kali menentang ahli kesehatan, para pakar, kelompok masyarakat sipil, menabur kebencian, juga memberikan informasi palsu yang membuat kebingungan tentang tingkat keparahan dan karakteristik virus (Abadi et al. 2020). AS yang menjadi pusat episentrum COVID-19 baru, bahkan saat ini mengalami krisis sosial.
Dari kondisi di atas kita bisa refleksikan bahwa kebijakan pembangunan berbasis bukti penting untuk menunjang kebijakan yang efektif di masa krisis. Kebijakan yang menegasikan bukti dan menimbulkan kontroversi karena spekulasi atau emosi idealnya dihindari. Penyebaran informasi palsu secara cepat adalah momentum yang dimanfaatkan oleh para pencari rente untuk memperparah situasi krisis, menciptakan kebingungan dan konflik. Masyarakat terbawah yang akan terdampak langsung dan dirugikan. Masyarakat terbawah dengan kemampuan literasi terbatas akan menerima apapun keputusan pemerintah yang mereka percaya walau itu serampangan dan membahayakan hidup mereka.
Umi Hanik, 30 Mei 2020 | Founder MONEV Studio
*Artikel juga dapat ditemukan di http://monevstudio.org/krisis-kesehatan-global-dan-evaluasi-atas-kebijakan-pembangunan/
Gangguan rantai pasokan menghentikan industri manufaktur dan membuat harga-harga komoditas berjatuhan, khususnya minyak, semakin memperparah dampak ekonomi pandemi. Kondisi ini mengguncang pasar keuangan, memperketat kondisi likuiditas di banyak negara, menciptakan arus keluar modal yang belum pernah terjadi sebelumnya dari negara-negara berkembang. Kondisi ini memberikan tekanan pada pasar valuta asing dan meninggalkan beberapa negara yang mengalami kekurangan dolar. Mata uang lokal yang lemah telah membatasi kemampuan pemerintah untuk stimulus fiskal pada skala yang diperlukan untuk menstabilkan kembali ekonomi dan untuk mengatasi krisis kesehatan juga kemanusiaan.
Situasi di negara-negara berkembang, khususnya LDC (Least Developed Countries), LLDC (Landlocked Developing Countries (LLDC) dan SIDS (Small Island Developing States), perlu mendapat perhatian serius. Penyebaran virus ke negara-negara ini akan semakin melemahkan situasi makroekonomi yang sudah rapuh, di mana akumulasi utang telah melampaui pertumbuhan pendapatan bahkan sebelum krisis. Selain itu, negara tersebut umumnya belum mempunyai standar kebersihan dan sanitasi yang layak. Dasawarsa capaian pembangunan dalam mengatasi kemiskinan kembali terhempas, ketidaksetaraan dan ketimpangan makin memburuk. Gangguan pasokan makanan makin memperparah asupan nutrisi, indikasi gizi buruk makin dalam menimpa kelompok paling rentan.
Terkait krisis pembangunan yang kompleks dan pelik di atas, Pemerintah membutuhkan masukan dan dukungan dari para pakar serta masyarakat sipil untuk meredefinisi pembangunan, menginformasikan dan melegitimasi masalah, meninjau aksi kebijakan, dan evaluasi. Bentuk masukan tersebut penting utamanya untuk melegitimasi pilihan kebijakan yang diambil pemerintah dalam situasi berisiko tinggi. Guna menjaga kualitas dan kebermanfaatan pilihan kebijakan yang diambil; ruang masukan dan dukungan tersebut hendaknya diisi oleh para pakar dan masyarakat sipil dengan informasi dan bukti dukung yang kuat (evidence). Artinya pemerintah memerlukan dasar untuk pengambilan keputusan kebijakan yang sehat. Pemahaman oleh masyarakat sipil dan keahlian dari para pakar terhadap aspek multidimensionalitas pembangunan dan koridor-koridor untuk mendapatkan informasi dan bukti dukung yang kuat menjadi kunci.
Seiring meningkatnya kebutuhan publik terhadap proses pembuatan kebijakan berbasis bukti, maka para pakar dan masyarakat sipil (yang membutuhkan keterampilan untuk menyederhanakan dan mengkomunikasikan informasi teknis) serta para pembuat kebijakan (yang perlu menyeimbangkan pertimbangan politik dan tanggung jawab dalam penggunaan informasi ilmiah dan teknis) perlu melengkapi dirinya dengan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan yang memadai tentang multidimensionalitas pembangunan, paradigma/sudut pandang melihat kondisi/persoalan, dan bagaimana mengevaluasinya. “Evaluasi” di sini berguna untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan transparansi, akuntabilitas, dan pembelajaran atas proses pembangunan. Ranah masukan dan bukti dukung yang dapat dikontribusikan idealnya mencakup relevansi kebijakan, efektivitas, efisiensi, keberlanjutan, memberikan dampak kepada masyarakat langsung, dan koherensi kebijakan sebelum kemudian diputuskan secara politis/teknis.
Lebih jauh, evaluasi pembangunan cukup sentral perannya utamanya untuk mendukung inovasi dan mendampingi seluruh proses adaptasi dari fase krisis ke recovery dan seterusnya. Evaluasi pembangunan memungkinkan proses pengamatan terhadap situasi dan berbagai realitas yang muncul dan terus bergerak dinamis dalam lingkungan yang kompleks. Inovasi-inovasi di sini dapat berupa penemuan proyek baru, program, produk, perubahan organisasi, reformasi kebijakan, dan intervensi sistem yang lebih mutakhir. Perubahan muncul dari interaksi dan lintasan waktu yang menghasilkan pembelajaran, evolusi, dan pengembangan. Inovasi ini diperlukan untuk menjawab kompleksitas dan dinamika lingkungan yang terjadi. Inovasi perlu dilakukan secara terus menerus supaya adaptif terhadap dinamika masalah dan potensi ketidakpastian (Patton, 2010). Dengan demikian para pakar, masyarakat sipil, dan pemerintah sebagai pemangku kepentingan utama pembangunan mempunyai navigasi yang jelas untuk mengambil keputusan yang tepat termasuk dalam situasi tersulit.
Kita belajar bahwa di beberapa negara yang mengalami krisis COVID-19 merespon dengan dasar emosi bukan data. Ketakutan dan kecemasan menjadi dasar kebijakan penanganan krisis yang spontan dan irasional. Ketakutan dan kecemasan bisa menimpa siapapun termasuk dari para pemberi rekomendasi kebijakan (para pakar, masyarakat sipil, juga kalangan pemerintah sendiri). Rekomendasi kebijakan yang tidak didasari oleh bukti atau evaluasi yang memadai melainkan oleh emosi yang dilatari pengalaman pribadi seringkali menjadi bagian dari proses kebijakan dan digunakan sebagai strategi untuk mencari simpati dari masyarakat luas (Stone 2013)(Durnova 2019).
Dari kondisi di atas kita bisa refleksikan bahwa kebijakan pembangunan berbasis bukti penting untuk menunjang kebijakan yang efektif di masa krisis. Kebijakan yang menegasikan bukti dan menimbulkan kontroversi karena spekulasi atau emosi idealnya dihindari. Penyebaran informasi palsu secara cepat adalah momentum yang dimanfaatkan oleh para pencari rente untuk memperparah situasi krisis, menciptakan kebingungan dan konflik. Masyarakat terbawah yang akan terdampak langsung dan dirugikan. Masyarakat terbawah dengan kemampuan literasi terbatas akan menerima apapun keputusan pemerintah yang mereka percaya walau itu serampangan dan membahayakan hidup mereka.
Umi Hanik, 30 Mei 2020 | Founder MONEV Studio
<< Home