Lahir sebagai perempuan di desa sangatlah sulit dan kadang menjadi beban tersendiri. Saya adalah salah satu perempuan itu. Saya lahir di lingkungan masyarakat yang tradisional atau ndeso. Dalam melihat peran perempuan dan banyak hal lainnya akhirnya saya sampai pada kesimpulan bahwa masyarakat yang ada sangat bias gender dalam mengartikan peran dan fungsi perempuan baik dalam tatanan berkeluarga maupun lingkungan. Fungsi dan peran perempuan dalam perspektif mereka adalah sebatas pada fungsi reproduksi dan fungsi domestik yakni berkutat pada tugas untuk membesarkan anak, mengurus suami, mengatur rumah tangga, memasak, dsb.
Perempuan harus mau menerima apa yang sudah dititahkan dan diwariskan oleh keluarga dan leluhur bagi dia. Di pundak para perempuan-perempuan tersebut-lah panji-panji keluarga diamanatkan untuk dijaga kelestariannya. Bukan berarti saya menganggap fungsi reproduksi dan domestik tersebut adalah fungsi dan peran yang tidak mulia, tapi saya melihat terdapat ketidakadilan yang sistemik menimpa perempuan-perempuan di sana karena tidak diberikan banyak pilihan untuk beraktualisasi. Saya juga takjub dengan perempuan-perempuan teman saya dulu di SD, SMP, dan SMU yang dengan sukarela melepaskan masa studinya di tengah jalan untuk menikah di usia sangat belia karena permintaan orang tua, padahal secara akademik kemampuan mereka sangat jauh di atas saya.
Jika-pun akhirnya ada yang memutuskan untuk mengadu nasib ke Jakarta misalnya atau ke kota besar lainnya karena faktor ekonomi keluarga dan dalam waktu tidak lama mereka mampu mengirimkan sejumlah materi untuk orang tuanya, bahkan membelikan rumah, atau mobil, maka sindiran dan ucapan-ucapan nyinyir yang bernada negatif sudah bisa dipastikan langsung menyebar ke seluruh penjuru kampung tanpa ada yang tau siapa yang memulai. Informasi yang menyebar-pun tak tanggung-tanggung yang isinya kurang lebih Si Fulan bekerja tidak benar atau tidak halal. Nah, hal-hal seperti inilah yang menjadi beban perempuan di desa.
Saya tidak tahu kondisinya di era sekarang ini mungkin saja telah banyak perubahan yang terjadi. Yang jelas saya menghabiskan masa kecil dan remaja saya di mBatu hingga tahun 1996/1997. Setelah itu praktis pulang kampung hanya setahun sekali. Namun demikian pada masa-masa itu adalah masa penting bagi dimulainya cerita saya dan pergulatan pemikiran saya tentang makna perempuan, pengabdian, aktualisasi, keraguan, dan keikhlasan meskipun tidak saya tulis secara utuh di sini.
Saya adalah sedikit dari perempuan di desa saya yang mencoba menuruti keinginan dan mimpi-mimpi untuk dapat beraktualisasi diri dan mengembangkan pilihan-pilihan atas hidup yang akan saya jalani. Pengambilan keputusan tersebut murni karena kebutuhan untuk aktualisasi diri dan menempa diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan kuat. Tidak ada apapun yang ingin dibuktikan atau disombongkan dari keputusan yang saya ambil tersebut. Saya bersyukur keluarga menjadi pendukung dan motivator yang baik atas rencana saya tersebut meskipun dalam mengiringi perjalanan saya mereka menyisipkan sederet panjang catatan-catatan yang harus saya baca, resapi, dan amalkan. Saya percaya dan saya anggap itu sebagai jimat saya supaya selamat.
Layaknya yang dialami perempuan lainnya, namun memang ada secuil keragu-raguan dari orang tua saya tepatnya dari Ibu saya tiap kali melepas. “Wah bisa nggak ya anak ini”, mungkin itu kira-kira pertanyaan yang muncul di benak beliau. Keragu-raguan inilah yang seringkali menjadi batu sandungan saya dalam ritme yang coba saya lakoni, dalam beberapa hal saya menjadi sedikit peragu dan terlalu hati-hati dalam mengambil keputusan. Namun memang dalam hidup kita tidak boleh ragu-ragu, setidaknya saya mencoba meyakinkan diri saya sendiri. Katakan ya jika kamu yakin itu benar dan katakan tidak jika kamu tidak yakin itu baik. “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”. (Qs.Al Baqarah 2: 147)
Selanjutnya, supaya tidak ragu-ragu ikhlas-lah kamu. Islam juga mengajarkan bahwa semua ibadah (termasuk belajar, bekerja, dan beraktivitas lainnya) hendaknya dilakukan semata-mata ikhlas karena Allah (QS Al-An’am, 6:162-163). Tak terkecuali ketika kita sedang ragu dalam menjalankan ibadah dalam arti luas tersebut. Karena hanya dengan niat yang terikhlaslah, akan terjamin kemurnian ibadah yang akan membawa pelaksanaannya dekat kepada Allah. Tanpa adanya keikhlasan hati, mustahil ibadah akan diterima Allah (QS Al-Bayyinah, 98:5).
Rasulullah saw berpesan, “Barangsiapa memiliki hati yang baik maka Allah menyukainya...”, “Barang siapa memberi karena Allah, menolak karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikah karena Allah, maka sempurnalah imannya,”. Karena itulah, Islam tidak mendefinisikan Ikhlas sebagai sikap pasrah, putus asa, statis, ataupun menyerah. Melainkan ikhlas adalah sikap progresif yang tidak menyerah pada keadaan termasuk keragu-raguan. Selalu berbuat untuk kebaikan orang lain semata-mata sebagai bentuk penghambaan atau penyerahdirian kepada Allah.
Yang terakhir adalah syukur, “Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (QS Yunus : 58). Bersyukur dengan melaksanakan ajaran-ajaran Islam baik pada tataran pribadi, keluarga, dan masyarakat, berarti juga menjaga nikmat Allah. Terima kasih Allah atas berbagai nikmat dan kemudahan yang Engkau karuniakan kepada hambaMu ini. Saya juga sangat bersyukur memperoleh banyak kesempatan untuk banyak belajar dari kawan-kawan, senior-senior, guru-guru yang ada disekeliling saya selama berproses sekian lama, dimanapun saya berada. Saya juga belajar banyak tentang konsep ikhlas dan syukur dari teman-teman secara tidak langsung..seperti apa sih..karena memang tidak mudah.."Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali jika (pelaku) amal itu ikhlas dan mencari keridhaan Allah dengannya." (HR. Nasa'i)..ya saya masih akan terus belajar, termasuk belajar untuk menjadi muslimah yang lebih baik.
Apa yang ingin saya sampaikan dari tulisan saya adalah, meskipun secara kultural masih sulit, perempuan akan mendapat tempat sesuai proporsi dan kapasitasnya tanpa perlu untuk memaksakan diri melalui sistem atau regulasi. Yakinlah bahwa kita punya kapasitas yang cukup dan mampu berkompetisi secara fair meski kadang dunia selalu saja tidak fair ke kaum perempuan. Yakinkan diri sendiri mau mengabdi untuk keluarga dan suami terlebih dahulu atau aktualisasi dulu? Jika masih ragu-ragu yakinkan kembali pada tujuan, mencoba ikhlas, dan terakhir bersyukur atas apapun yang telah kita capai sebagai perempuan meski hanya sebagai ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga adalah karier yang sangat mulia, penting, dan menentukan karena ditangan dia-lah pemimpin atau penjahat besar dapat terlahir. Jadi baik-baiklah sama perempuan.
Tulisan ini sengaja ditulis untuk memotivasi diri sendiri dan teman-teman dekat, tidak ada maksud untuk menyudutkan pihak-pihak tertentu.
<< Home