Social Security Net, Binatang Apa Itu ?
Read more!
Jellyjuice Column
"A slice of thought with Indonesia topping and jellyjuice sauce, spicy yet releasing!"
Umihanik a.k.a Jellyjuice
Chat Corner
Paper Collections
Also available at : Virtual Mate
Previous Post Credit
My Engine : Blogger
|
Saturday, December 04, 2010Social Security Net, Binatang Apa Itu ?
Saya terpaku. Di kawasan Sabang Jakarta Pusat dan jarum jam menunjuk di angka 8 lebih. Hari-pun sudah beranjak gelap dan tak bersahabat. Seorang nenek berkerudung dan rapi, renta sekali terhuyung-huyung berlalu menjajakan tissuenya ke arah mobil saya begitu mobil depan tidak menunjukkan respon. Spontan saya buru-buru mengeluarkan beberapa lembar puluhan ribu untuk membeli dua pak tissue yang dia tawarkan. Saya ambil keduanya, dan si nenek bertanya “maaf mau beli berapa non?” dugaan saya waktu itu mungkin dia pikir lembaran yang saya kasih pecahan ribuan, saya jelaskan bahwa yang saya kasih sekian. Tergopoh-gopoh si nenek ke tempat barang dagangannya yang berada sekitar 3 meter di depan mobil saya sambil bilang “waduh non tissuenya kurang banyak”, saya pun berteriak “tidak usah” karena toh lampu sudah hijau. Masih dalam keadaan jendela terbuka saya maju dan pamit, eh nggak taunya dilemparnya segepok tissue ke dalam jendela mobil saya sambil terbata-bata si nenek bilang “terima kasih non” saya sahuti “sama-sama nek” dan saya-pun berlalu dengan pikiran berkecamuk. Jujur saya marah, tapi ada yang membuat saya berpikir...
Ah nenek itu mengingatkan saya pada almarhumah nenek buyut saya yang senantiasa rapi, anggun, dan sopan dalam bertutur kata. Saya menyumpah "terkutuklah yang membuat nenek baik tersebut hidup di jalanan". Mendadak mata saya menjadi buram oleh air. Subhanallah. Saya bersyukur bisa dipertemukan dengan nenek tersebut sambil dalam hati bergumam “ini ladang amal saya dan pengingat akan fitrah hidup saya”. Tidak masalah jika nilai amal saya harus berkurang karena menulisnya disini. Ah, saya kok masih berhitung :(.
Entahlah, apakah nenek tersebut terima atau tidak dengan keadaannya yang masih harus berjuang di kerasnya Jakarta. Kalo melihat raut mukanya yang bersinar dan ikhlas saya yakin nenek tersebut pasrah dan ikhlas menjalani hidupnya. Dia tidak tau apa dan siapa sebenarnya yang bikin dia tidak bisa menikmati masa tuanya selain bahwa itu nasib dan takdir yang harus dia jalani. Ya, nenek tersebut hanya segelintir dari ribuan atau mungkin jutaan manula termasuk pegawai usia pensiun yang ada di republik ini yang tak terurus dan tak terjamin kesejahteraan masa tuanya. Harus bekerja keras dan bersaing dengan angkatan muda lainnya.
Sering pula saya melihat kakek2 terhuyung-huyung dengan membawa map harus mengejar atau turun dari metromini yang gaya nyetirnya ala setan mabuk. Saya tak tau apakah map itu jadi alat buat minta sumbangan ke kantor2 ataukah isinya surat lamaran kerja. Baru-baru ini pula saya terhenyak menyaksikan kakek berbatik, berpeci, dan bersepatu rapi menjajakan koran dengan sepeda ontel tuanya terserempet metromini biadab di kawasan blok m yang ramai.
Saya yakin, mereka punya pikiran yang sama, hanya mampu pasrah dan menjalaninya sebagai bagian dari takdir.
Pemahaman yang salah!!
Bagaimana tidak, takdir yang menentukan bukan pemerintah bukan pula negara. Kakek-nenek masih terpaksa harus bekerja karena kelalaian negara dan penyelenggaranya mengurusi mereka-mereka ini. Secara normatif, Negara melalui Undang-undang Dasar 1945 dianggap 'sudah' menjamin manula untuk hidup sejahtera dimasa tuanya. Negara 'sudah' pula mengamanatkan dalam berbagai Undang-undang dan perangkat regulasi lainnya. Sudah pula menggelontorkan berbagai program yang terkait dengan kesejahteraan sosial manula, dll tapi apakah mereka (baca: kakek-nenek pekerja) tadi penerima manfaatnya? Sialnya jumlah regulasi yang berhasil disusun dianggap cukup sebagai pencapaian.
Monitoring dan evaluasi yang berhenti pada tahap output menjadi dewa yang menyesatkan atas kinerja program dan pemerintah.
DPRnya juga demikian rakusnya, berani2nya jelmaan tikus curut mengaku-aku sebagai jelmaan rakyat. Sistem perundangan dan perpolitikan ala dagang sapi, menjadikan DPR hanya syah sebagai mesin keruk pundi-pundi termasuk pada saat pembahasan RUU Jamkesmas dan sejenisnya. Departemen yang berani bayar mahal dan setor pundi2 terbanyak maka dialah yang bakalan mulus regulasinya. Aaargh...gelapnya negeri ini !! Dahulu waktu masih dibangku kuliah dan mendapatkan materi sistem jaminan sosial, saya senantiasa bertanya-tanya kepada dosen yang mengajar, namun tak pernah menemukan jawaban yang pas. Katanya berbagai program yang ada sudah tepat dan sesuai text. Wah akademisi yang memble dan tidak tau perkembangan, batin saya. Maaf..tapi apa boleh buat, saya manusia dan saya sedang marah.
Jika India yang dipusingkan dengan tingkat korupsi yang cukup tinggi dan ledakan penduduk tapi kenapa mereka mampu mengalokasikan program pengamanan untuk manula dengan lumayan baik. Nah kenapa kita tidak bisa?
Para kakek, nenek yang tengah berjuang hidup dipenjuru tanah air, Semangat !
Read more! |