Ibu saya kebetulan sedang di Jakarta, beliau lumayan sering nengokin saya meski cuman 2-3 hari tapi frekwensi cukup sering sampai dua minggu sekali ke Jakarta, saya sih seneng-seneng aja bisa makan rawon dan pecel kesukaan saya. Kalau jauh-jauhan suka kangen, tapi kalau sudah dekat suka berdebat tak karuan dan tak pernah ketemu karena sama-sama keras prinsip atau keras kepala kali ya? Seperti pagi ini, perdebatan bermula dari konsep tentang persaudaraan dan pertemanan akhirnya melebar ke masalah tentang derajat keislaman dan keimanan. Satu hal yang menurut saya cukup menarik untuk ditulis.
Ibu saya lahir di Bangkalan Madura, orangtuanya adalah tentara veteran yang sangat keras dan disiplin dalam mendidik anak-anaknya. Sejak lulus SD beliau memasukkan ibu saya ke Pondok Pesantren Wali Songo di Cukir Jombang yang diasuh oleh Kyai besar yakni KH Adlan Ali untuk menempuh pendidikan salafiyah, Pesantren tersebut terkenal dengan sebutan Pondok Cukir. Di pondok tersebut beliau memperdalam Islam sampai tamat Mualimat (setara dengan SMA). Selama masa itu pelajaran reguler yang harus beliau terima dan pelajari adalah baca-tulis Al Qur’an, ilmu tasawwuf yakni ilmu yang mempelajari tentang kedalaman keimanan, ibadah wajib, ibadah sunnah, puasa wajib dan sunnah, selain itu beliau juga mempelajari ilmu alat yakni nahwu dan shorof yang merupakan ilmu tentang tata cara untuk membaca dan menulis kitab kuning serta I’rob dan I’lal sebagai ilmu pelengkap untuk mempelajari nahwu.
Selain itu beliau juga belajar tentang fiqih yang merupakan ilmu yang mempelajari tentang tatacara dan adab beribadah, Ilmu Falaq, dan yang terakhir adalah ilmu faroidl yang berkutat tentang ilmu waris. Menurut cerita beliau, pada waktu itu ibu saya merupakan santri yang cukup menonjol baik secara akademik maupun karena keaktifannya di berbagai organisasi. Setelah lulus mualimat, ibu menikah dengan abah saya yang berbeda usia sekitar sebelas tahun. Abah adalah lulusan terbaik dari Pondok Tebuireng , Tambak Beras, dan Lasem. Ketiga pondok tersebut sangat terkenal apalagi waktu itu abah belajar langsung dengan Kyai-kyai besar antara lain KH Wahid Hasyim, KH Wahab Hisbullah, KH Yusuf Hasyim, KH Kholik, KH Masduqi, KH Maksum. Ketika masih menjadi santri dan mengajar juniornya (termasuk diantaranya Gus Dur) di Tambak Beras, abah mendapatkan julukan sebagai ‘imam syibaweh’ karena kepiawaiannya dalam ilmu nahwu. Latar belakang cerita tersebut akan menjadi backbone dari apa yang akan coba utarakan melalui tulisan di bawah.
Seperti layaknya dulu waktu masih kecil, sampai sekarang-pun ketika ketemu yang ditanyakan selalu sama “Gimana sholatnya?” “Ngaji Quar’an-nya masih sempat tiap hari kan? Kalo nggak sempat, baca majemuk aja” kalau abah lebih berat lagi “Gimana sholat malam & sholat sunnah lainnya? Puasanya? Amalan wiridnya masih suka dibaca kan?” Beda dengan orang tua lainnya yang umumnya yang dianyakan “Pangkatmu dah apa nduk? Gajimu dah berapa? blablabla...”. Ya, saya lebih bersyukur orang tua saya tidak banyak menuntut, beliau hanya ingin diyakinkan bahwa anak yang mereka besarkan kelak akan selamat dari api neraka, jika api neraka bisa dijauhi Insya Allah hidup di dunianya juga akan barokah. Demikian kurang lebih saya memaknai maksud orang tua saya atas pertanyaan-pertanyaannya sederhananya.
Pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang membuka percakapan saya dengan ibu tadi pagi, akhirnya meluas ke obrolan tentang judul tulisan ini yakni tentang derajat keislaman dan keimanan. Lantas tiba-tiba muncul pertanyaan saya, iseng “Kira-kira gimana ngukur derajat keislaman dan keimanan seseorang ya?”. Bagi ibu saya, derajat keislaman dan keimanan adalah tingkatan pemahaman dan penguasaan orang perorang terhadap Islam dan iman sekaligus bagaimana dia menjalankannya dalam hidup. Beliau mengilustrasikan, “Kalo bicara tentang ketekunan dalam beribadah dan kedalaman ilmu tentang Islam termasuk tentang keimanannya, dulu ibu tuh selalu nomor satu, pokoknya yang terbaiklah baik itu diantara teman sealmamater, keluarga, dan lingkungan sekitar”. Beliau melanjutkan ceritanya “Namun begitu bertemu dengan abahmu mendadak ibu kok jadi merasa turun peringkat jadi nomor 20 karena apa yang ibu punyai, yakini, dan percayai tentang itu semua bagaikan terbang ditiup angin karena memang ternyata sangat jauh dan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan yang dipahami dan ketekunan ibadah yang dilakukan oleh abah kalian yang seribu derajat lebih berlipat-lipat dibanding ibu” saya menimpali “Wahwah..bagaimana dengan kita anak-anaknya donk, peringkat 50 kali ya, hehe..” saya ketawa sambil meringis menahan sakit (maklum pas nulis ini lagi di RS).
“Ya ibu hanya bisa bersyukur anak-anak ibu tidak ada yang macem-macem, makanya pertanyaan ibu juga gak aneh-aneh cukup yang dasar-dasar aja. Ya, sebagai orang desa memang dulu ibu saya sangat berambisi punya anak hafidz (baca : penghafal Qur’an) baginya punya anak yang hafal Al-Quran adalah satu kebanggan yang tak ternilai. Faktanya, di satu sisi ibu cukup bersyukur di sisi lainnya agak-agak prihatin juga karena meski semua anak-anaknya pernah mengecap pendidikan di pondok pesantren (kecuali saya) tapi yang menguasai Nahwu misalnya hanya adik saya Habib itupun tidak mendalam. Yang lain paling banter hanya bisa baca kitab kuning. Apalagi saya, baca Al-Quran aja masih tidak percaya diri apalagi kalau harus bareng-bareng bersama keluarga..hehe.
Ya, akhirnya diskusi tidak bisa dilanjutkan lebih dalam lagi karena banyak tamu dan dokter sama susternya berseliweran. Tapi jujur saya masih penasaran dan belum puas dengan jawaban ilustratif dari ibu saya tersebut.
<< Home