Di Persimpangan Jalan
Jellyjuice Column
"A slice of thought with Indonesia topping and jellyjuice sauce, spicy yet releasing!"
Umihanik a.k.a Jellyjuice
Chat Corner
Paper Collections
Also available at : Virtual Mate
Previous Post Credit
My Engine : Blogger
|
Friday, July 03, 2015Di Persimpangan Jalan
Kalo ingat-ingat jaman kuliah dulu, teori yang paling sering disinggung "the law of diminishing marginal utility" mendeskripsikan dengan gamblang bagaimana manusia sebagai agen ekonomi yang secara terus menerus me-utilisasi hal yang sama, kepuasannya secara gradual akan menurun oleh berbagai faktor. Saya lupa apa saja tepatnya faktor yang mempengaruhi, tapi yang pasti teori ini pas juga untuk menggambarkan situasi saya saat ini. Diperlukan berbagai langkah untuk membuat marginal utilitynya tetap seimbang atau tetap tinggi. Saya tidak mau jalan di tempat dan terjungkal turun dalam garis hidup yang coba saya jalani. Saatnya menapaki garis hidup selanjutnya dengan penuh makna...
Selama kurang lebih 12 tahun dengan sabar melakoni hal yang kurang lebih sama alias mirip-mirip lewat berbagai organisasi/lembaga yang berbeda, sekarang ini seperti perut saya sebah dan rasa mau muntah menjalaninya. Meski saya bukan risk taker atau adventurer, saya merasa sudah berada di titik balik. Merasa pekerjaan dan tugas yang ada tak lagi menantang, rutinitas yang membosankan, jadi mohon maaf kalo performa saya belakangan terjun bebas. Sudah coba ikuti beberapa program capacity building di luar negeri dan menularkan di dalam negeri, aktif di berbagai organisasi profesi di level nasional maupun regional. Tapi kok tetap sama, hambar. Saya menyadari selera saya masih sama, passion atau kesukaan terhadap profesi saya masih cukup tinggi, tapi saya tidak puas. Substitusi, pembanding, atau pelengkap profesi bisa jadi pilihan-pilihan untuk memaknai hidup saya berikutnya.
Sekolah menjadi pilihan substitusi atau pelengkap yang paling pasti. Sudah direncanakan sejak lama karena yakin akan jadi solusi untuk menambah kapasitas dan ruang kompetensi yang lebih luas dengan pilihan-pilihan. Lompatan dan peluang naik 'kelas' juga tinggi jika berhasil lulus dengan 'selamat'. Tidak kunjung berangkat karena selalu tergiur tawaran project baru. Belakangan mulai banyak menimbang-nimbang lagi. 3 tahun mengambil program doktoral di luar negeri, meninggalkan segala bentuk kenyamanan di negeri sendiri, tidak ada penghasilan dan jadi mahasiswa penuh, menghilang dari jejaring nasional, sepenuhnya hidup mandiri apa bisa saya jalani. Siap Oktober ini? Rela berkorban sedemikian rupa?
Menikah. Sebenarnya prioritas karena kewajiban sebagai muslimah, sudah waktunya (untuk tidak bilang telat ^_^), juga pilihan yang paling rasional, meski belum tentu juga jadi solusi karena dunia pernikahan benar-benar berbeda dan penuh tantangan. Tapi sebagai mahluk yang percaya janji Allah, pilihan ini tetap jadi prioritas meski urutan kedua karena prosesnya tidak pula mudah. Percintaan dan proses menjalin hubungan yang banyak melibatkan faktor-faktor di luar rasio yang membuat hubungan yang dijalin menjadi sulit maju dan terlalu complicated untuk proses selanjutnya. Tak mudah pula menemukan sosok pendamping yang bisa menemani langkah ke masa depan dan diajak meraih cita-cita bersama. Antara egoisme dan toleransi belum tentu bisa berjalan seimbang. Lalu tentang kepercayaan adanya faktor di luar manusia sebagai yang maha menentukan juga ikut bermain. Ceritanya umat sudah berkehendak, ini yang penting, tapi Tuhan belum. Jadi untuk pilihan ini statusnya menunggu kehendak. Kalo boleh jujur, saya sedang mencoba merasionalisasi persoalan yang paling pelik, persoalan satu ini tak semudah yang saya tuliskan, idealnya ditulis dalam bentuk roman yang puitis :)
Membuka bisnis dengan misi sosial (tetep!), apapun itu, bisa warung, sekolah, atau toko souvenir. Pilihan yang menurut saya optimis, exciting, out of the box, dan penuh resiko. Sejak dahulu sudah ada impian dan bayangan untuk membuka salah satunya. Tetapi selalu tertunda karena disibukkan dengan rutinitas dan kegiatan-kegiatan sosial/komunitas yang menghabiskan waktu. Ada sedikit tabungan untuk mewujudkan, dibantu dengan sedikit keahlian membuat proposal yakin bisa dilaksanakan. Namun mewujudkan ini tidak mudah karena digelayuti dengan ketakutan bisnis tidak bisa berlanjut, merugi, tidak performed, dan ketakutan-ketakutan lainnya.
Membeli tanah yang luas, membangun rumah kecil di Batu, membangun yayasan sosial, bekerja dan menetap di Jawa Timur (Surabaya). Passion terhadap profesi bisa dilanjutkan dengan suasana berbeda. Suasana bekerja di daerah dan dekat dengan banyak saudara tentu berbeda dengan bekerja di Megapolitan. Sudah ada penawaran dari salah satu project di Surabaya namun belum ada komitmen. Adapun tentang memiliki properti di Batu, sekarang ini agak sulit, mengingat nilai investasi Batu yang meroket beberapa tahun terakhir. Jika project di Surabaya bisa terwujud, memiliki properti sekaligus punya yayasan sosial di Batu bisa dicicil, sementara opsi-opsi lain di atas kemungkinan besar bisa ikutan terwujud. Tetapi pilihan sekolah lagi-lagi terpaksa harus tertunda.
Dengan menulis biasanya kekalutan saya hilang diganti dengan inspirasi. Semoga dalam beberapa hari ke depan sudah jelas apa yang mau saya tapaki, meski kalo boleh jujur dari pilihan-pilihan di atas, saya tidak tahu pasti yang mana yang akan saya jalani. Juni barusan berlalu, untuk sebuah evaluasi dari rencana tahunan dan midline untuk rencana lima tahunan, mungkin masih ada ruang untuk perbaikan rencana dan meredefinisi tujuan hidup saya. Allah, tolong bantu saya!
|
<< Home