Doaku, berbahagialah...
Jellyjuice Column
"A slice of thought with Indonesia topping and jellyjuice sauce, spicy yet releasing!"
Umihanik a.k.a Jellyjuice
Chat Corner
Paper Collections
Also available at : Virtual Mate
Previous Post Credit
My Engine : Blogger
|
Friday, June 17, 2011Doaku, berbahagialah...
Melalui tulisan refleksi di buku Cak Nur in-memoriam 10 tahun bertajuk “Gita Islam SMA: Santri Kota Mencari Tuhan” kau mencoba mengajakku mengenalmu lebih jauh. Dan benar saja, tulisan itu membuatku berpaling kepadamu. Kemudian menyusul dengan tulisan-tulisanmu yang lain. Meskipun kau kirim ke banyak orang, akupun menjadi makin terikat dan tak bisa lepas dari(tulisan)mu. Berawal dari tulisan, kitapun menjadi dekat sampai suatu waktu (karena ketakutanku yang tak jelas) kuputuskan “this is too good to be true”. Akhirnya aku memilih mundur dan melupakanmu.
Hingga sore itu ditengah rapat, kudengar kabar dari salah seorang rekan yang sama-sama kita kenal jika dalam empat hari ke depan kau akan segera melepaskan masa sendirimu. Kutimpali dengan ringan, tanpa ekspresi, dan seolah kabar itu tak penting, "Oya?". Selebihnya kembali membahas pekerjaan dan laporan hingga malam.
Disaat perjalanan pulang dan sendiri, baru terasa ada yang sesak. Setengah panik dan dengan gemetaran kucoba cari tau kembali no hpmu ke beberapa teman karena tentu nomormu sudah kubuang lama. Setelahnya, kukirimkan sms singkat ke nomormu, "Benarkah?".
Sesampai di rumah, keluarga Sinergi mengajak untuk makan di resto Jepang tempat kami biasa makan di sekitar Wijaya. Setengah hampa dan pikiran melayang berharap kabar itu tak benar, kucoba ikut menikmati makanan yang ada. Mungkin berlebihan, biasanya aku makan disitu dengan lahap, tapi malam itu kuahnya berasa pahit. Selera makanku hilang, lututpun lemas gemetaran. Aaaarg… kenapa pula lama sekali kau jawabnya.
Nyaris dua jam kemudian, sekembali di rumah, pesanmu masuk dan benar saja kabar itu. Allah, kenapa secepat itu? Ataukah waktu berjalan normal dan hanya karena aku tenggelam dalam tumpukan pekerjaan karenanya menjadi tertinggal? Aku tak benar-benar siap. Belum genap pula lupaku. Ini tak adil. Tapi mungkin saja aku yang dibutakan dan tuli oleh pekerjaan. Sebulan lalu tak sengaja kita bertemu dan kau mencoba menyambung kembali komunikasi tapi kutanggapi hanya sekedarnya.
Dan malam itu, kaupun menelpon dan bercerita banyak hal lebih dari satu jam. Terputus-putus karena sinyal yang tak bagus akhirnya akupun keluar rumah. Namun suaramu juga tak jadi jelas dikupingku, deru bajaj dan kendaraan yang lalu lalang di depan rumah menambah drama malam itu, tapi kau-pun berusaha mempertahankan obrolan (mungkin untuk yang terakhir kalinya). Sampai obrolan itupun harus berakhir karena handphoneku mati kehabisan baterai. Kembali ke dalam rumah aku isi baterai dan mencoba menyambung lagi ke nomormu, namun sinyal tak cukup bagus dan percuma. Ya, mungkin waktunya untukku berhenti dan (untuk kesekian kalinya) mencoba melupakanmu (kembali).
Kau memintaku untuk datang, tapi gimana caranya? I’m dying inside already. Akhirnya, kujanjikan doa dan harapan moga kita tetap bisa berteman baik. Tapi aku sendiri ragu, sanggupkah? Aaargh, kenapa pula aku musti mengalami ini, apa dosaku Allah? Ah, kenapa lagi-lagi Tuhan yang harus disalahkan. Akhirnya kuberanikan mendoakanmu, “Berbahagialah” dan kututup malam itu dengan tahajjud dan uraian air mata seraya mengadu, “Maafkan aku yang tak bersungguh-sungguh mengharapkanmu”.
|
<< Home