Akhirnya interaksi dengan adik-adik di kampung halaman praktis minim, meski komunikasi terus terbangun lewat telpon yang cukup intensif. Melalui telpon, saya mendapatkan update tentang berbagai info dikampung termasuk ‘pangling’ ketika mendapatkan fakta bahwa dua adik kecil saya telah beranjak menjadi remaja, fakta tersebut saya kenali dari perubahan suara adik-adik yang sebelumnya khas suara riang anak-anak beralih menjadi suara berat lelaki remaja, meski tak seberat suara saya sendiri terutama kalo pas lagi batuk, hehe. Oya, saya punya dua orang adik berusia ABG, Fathoni 18 tahun barusan lulus SMA dan Fathir 16 tahun naik kelas 3 SMA. Meski mereka pernah jauh dari orang tua karena masuk pesantren, namun umumnya dari segi kemandirian dan tanggungjawab nilainya ‘NOL BESAR’.
Karakter Fathoni seingat saya dulu ketika masih kecil sampai usia SMP pemberani dan sangat periang, dimana ada Fathoni suasana pasti menjadi rame, beda dengan Fathir yang biasanya pendiam dan berusaha menjadi periang dan lebih heboh kalo ada Fathoni. Fathoni tidak suka baca termasuk baca koran, dia tidak peduli dengan masalah politik, isue internasional, dll. Tapi dia suka sekali baca komik ‘Slam Dunk’, nonton film kartun terutama ‘Tom and Jerry’, dan gemar berolahraga, dulu waktu masih balita saja sudah jago push-up dan berenang. Setelah masuk sekolah, olahraga yang secara rutin dia ikuti sepak bola, berenang, dan basket, dia juga masuk klub profesional. Ketiga-tiganya dia unggul dan menonjol. Kalo untuk bidang akademik nilai dia standar, tidak ada yang menonjol. Yang menarik - selain perubahan suara - fathoni juga mengalami perubahan banyak terutama perubahan karakter.
Perubahan dari diri Fathoni saya dapati ketika masuk kelas 2 SMA, dia sudah mulai mengenal cinta monyet, dia punya pacar dan berani mengundang main kerumah, orang serumah sempat kaget dan pusing, duh. Sejak itu penampilan menjadi penting bagi dia. Dia berusaha keras untuk kurus - secara fisik Fathoni dulu gemuk lucu - dan menaikkan lagi tinggi badannya, selain itu dia cukup concern dengan model celana, saya sering dikritik karena pakai celana model pipa padahal yang sekarang lagi mode celana pinsil, potong rambut juga nggak mau di tukang cukur tapi maunya di salon, katanya kalo di tukang cukur suka malpraktek, haha. Yang nggak menyenangkan dari perubahan yang ada, Fathoni menjadi agak tertutup dan main rahasia, tidak seriang sebelumnya, dan agak sensitif. Ah, saya kok jadi merindukan Fathoni yang dulu.
Fathoni saya hilight karena setelah adanya berbagai pertimbangan terutama untuk melatih kemandirian dan tanggung jawab diputuskan setelah lulus SMA Fathoni kuliah di Jakarta dan dia memilih untuk tinggal bersama saya “mau nemenin Mbak Hanik” katanya. Praktis dua hari setelah kelulusan, Fathoni sudah di Jakarta. Dihari pertama dia di Jakarta saya minta tolong tetangga untuk mengantarkan Fathoni ke UIN dan UI untuk melihat-lihat situasi dan mencari informasi, meskipun saya sudah mendapatkan info lengkap dari website. Sorenya saya berusaha pulang cepat dan mengomunikasikan tentang rencana masa depan dia.
Seperti yang saya sebut di atas tentang tanggung jawab yang ‘NOL BESAR’ jawaban dia singkat “terserah sampean mbak, tapi aku sih pengennya tehnik informatika” dia melanjutkan “oya mbak aku mau potong rambut” kata dia sambil sibuk dengan hpnya, rupanya dia sedang ditunggu temannya. Saya pura-pura nggak mendengar jawaban dia, saya melanjutkan ceramah saya tentang pilihan bidang studinya dan mencoba mengarahkan dengan bidang-bidang alternatif lainnya. Wah rupanya saya ngomong sama tembok, karena lawan bicara saya sedang konsentrasi penuh dengan SMSnya. Saya sengaja mengulur waktu, dan benar teman yang menunggu dia akhirnya telpon. Akhirnya saya bilang “Toni, disini mbak hanik jadi pengganti abah dan ibu, mbak hanik yang bertanggung jawab penuh kalo ada apa-apa sama Toni, ini Jakarta beda sama Batu atau Malang, jadi mulai sekarang harus jujur, bener mau potong rambut?”
Akhirnya dia ngaku kalo temennya nunggu di Pejaten Village, dia minta ijin “cuman mau makan kok mbak” saya berusaha kooperatif “lho, memangnya Toni sudah tau jalannya? Ya udah mbak hanik dan mbak nuning ikut, ntar toni makan, mbak hanik ke tempat lain” jawab saya, kebetulan waktu itu lagi ada kakak ipar dari Semarang yang datang karena ada acara kantor di Jakarta. Fathoni menolak dengan berbagai alasan “Aku naik motor aja mbak, jam 9 dah sampai rumah” akhirnya saya mengiyakan dan dia berangkat. Sesaat setelah itu saya menerima telpon penting dari temen panggar DPR sampai tidak sadar kalo Fathoni kembali lagi karena motornya nggak mau nyala (setelah ditabrak, praktis motor nggak pernah dipake dan dipanasin). Dia minta kunci mobil punya kakak dan saya serahkan begitu saja. Oya di Jakarta meski saya tinggal satu komplek dengan kakak tapi kita beda rumah, pada waktu itu mereka sedang merayakan akikah untuk anak keduanya di rumah mertuanya di Palembang sekalian cuti liburan selama 10 hari.
Singkat cerita saya baru sadar ketika mendekati jam 9 Fathoni telpon minta ijin nganterin temennya pulang ke Ragunan, saya jawab dengan agak keras “Memangnya kamu tau Ragunan itu dimana? Temenmu tadi bisa berangkat sendiri mestinya pulang juga bisa sendiri. Kalo dah janji jam 9 pulang harus ditepati, kalo nggak selamanya mbak hanik nggak akan percaya sama kamu”. Jam 9.10 saya telpon dia, kawatir kalo dia nekat nganterin temennya. Dalam telpon jujur saya juga mengintimidasi dia untuk pulang tepat waktu dan tidak membuat insiden di hari pertama dia di Jakarta. Betul saja, feeling saya kejadian, Fathoni sampai rumah jam 9.30 dengan muka bete dia langsung ngomong “Mbak gara-gara telpon sampean aku jadi panik trus disenggol sama mobil pick-up, tapi penyoknya dikit kok, jadi sampean yang harus tanggung jawab”
Haha, kok malah saya yang diminta tanggungjawab? Lebih mengejutkan lagi ketika besoknya saya cek penyoknya lumayan gedhe. Kejutan lainnya ketika saya dapati fakta dari tetangga yang nganterin ke UI dan UIN sebelumnya kalo temen yang dia temui malam itu adalah SPG yang usianya jauh lebih tua dari dia yang dia kenal waktu di Malang, ketika dikonfrontir dia bilang temennya cowok namanya Edo anak Pak RT yang lagi liburan di Jakarta, alamak kebohongan apalagi ini. Saya sebenernya nggak mempermasalahkan dia mau berteman dengan siapa, cuman kalo dia bohong artinya ada sesuatu yang tak patut yang dia mau sembunyikan. Ah, rupanya PR saya cukup berat ^_^. Setelah insiden itu saya coba terus berkomunikasi dengan Fathoni, termasuk mencoba mencari cara untuk melatih kemandirian dan tanggungjawab dia. Treatment pertama lumayan hasilnya, Fathoni mau bertanggungjawab masukin mobil ke bengkel dan bayar sendiri sampai uang pesangon dia dari kampung habis.
Berikutnya, karena minat baca yang tidak ada dan tanggung jawab yang masih dalam tahap pembelajaran, maka untuk tahap awal kemarin saya berpikir kalo Fathoni ini masih harus disuapin. Dapat dibayangkan bagaimana info penerimaan mahasiswa baru yang sudah saya download dan simpankan untuk dia masih pula harus saya temenin bacanya, saya juga yang tanya kesana kemari, nganterin dia beli, ngantri panjang nukerin formulir, baca, isi, dan ngembaliin formulir SNMPTN, nyuruh belajar, nyiapin alat tulis, dll, bangunin dia yang kesiangan waktu test hari pertama soalnya saya juga kesiangan karena malemnya habis begadang ngerjain laporan, xixi..Praktis minggu-minggu kemarin jadi hari yang berat, termasuk buat dia juga. Saya yang terbiasa dengan ritme kerja yang cepat, somehow bikin dia agak tertekan.
Tapi memang komunikasi menjadi pintu utama untuk saya bisa masuk. Biasanya kalo saya mau memulai komunikasi dengan dia, fathoni selalu menyela “cicitcuit” yang artinya kurang lebih ‘cerewet’ itu berlangsung hingga sekarang. Pernah satu saat saya bilang ke dia “Ton, mbak hanik nyerah dah nggak sanggup lagi ngadepin Toni, diajak komunikasi aja susah, kalo nggak setuju bilang apa argumentasinya, kalo memang rasional mbak hanik pasti mau nerima. Baiknya Toni tinggal sama mas udin aja” haha, takut dia. Nah setelah itu perlahan tapi pasti dia mulai bisa berkomunikasi dengan baik. Setelah hampir satu bulan banyak progress yang dia buat, overall saya juga bersyukur karena anak ini dasarnya baik dan mau berubah, meski saya tau agak berat buat dia tapi dia nggak pernah mengeluh dan nggak pernah merengek atau telpon orang tua. Fathoni semangat!
<< Home