Tapi mohon baca pembelaan saya, informasi yang disampaikan oleh Pak Dosen terlalu banyak dan tanpa pengantar, tidak terstruktur, serta tanpa melihat reaksi mahasiswanya apakah paham atau tidak, padahal latar belakang akademik mahasiswanya cukup beragam. Tiap-tiap menjelaskan kapan, apa penyebab, dan akibat terjadinya crowding out tak satupun terserap kecuali kata crowding out yang berhasil masuk ketelinga dengan jelas, lainnya samar. Kecepatan kata yang keluar kira-kira sepuluh kata per detik (berlebihan ya? hehe, intinya beliau kalo ngomong cepet banget) hingga yang saya bisa tangkap waktu itu hanya kata terakhir yakni crowding out dan crowding out. Di kelas tersebut saya sempat mengajukan pertanyaan ke sang dosen namun penjelasannya justru menimbulkan kebingungan baru, hehe.
Tidak salah jika kemudian ketika keluar kelas saya memaknai kata crowding out sebagai berkurangnya pemahaman akibat informasi yang masuk secara bertubi-tubi. Saya berharap cuman saya aja yang mengalaminya tapi kalo saya lihat gerundelan dan ekspresi temen-temen yang tidak menunjukkan sesuatu yang menggembirakan menghantarkan saya pada kesimpulan bahwa sepertinya kami sama-sama tidak paham, hehe cari teman.. moga saja asumsi saya salah. Tapi kalo mau fair sepenuhnya kesalahan tidak bisa kita timpakan pada pak dosen, saya maklum beliau hanya menjalankan tugas sesuai target, bisa jadi karena teaching plan dengan pokok bahasan yang sangat padat harus disampaikan hanya dalam satu pertemuan sementara alokasi waktu yang dipunyai sangat terbatas. Ya, kedok BHMN menjadikan kampus semakin komersil dan menjadi mesin keruk uang yang mengerikan, kualitas deliverables-pun akhirnya menjadi tidak penting lagi.
Oke, kembali ke topik utama kenapa saya menulis dengan judul dimaksud. Singkat cerita saya baru paham artinya ketika mengikuti perkuliahan makro dengan dosen yang berbeda. Dalam ilmu ekonomi crowding out dimaknai sebagai berkurangnya dampak investasi yang diakibatkan dari naiknya suku bunga riil. Peristiwa kenaikan suku bunga ini terjadi melalui proses multiplier yang agak panjang yang dimulai dari kebijakan fiskal ekspansif yakni kebijakan untuk menaikkan pengeluaran pemerintah melalui pembiayaan defisit yang lebih besar. Kebijakan tersebut idealnya membawa dampak positif terhadap investasi, pada tingkat bunga yang sama serta melalui proses multiplier, income masyarakat diasumsikan akan naik menuju titik keseimbangannya seiring dengan membaiknya ekonomi masyarakat. Namun demikian peningkatan income tersebut secara bersama-sama juga berpengaruh terhadap bergesernya keseimbangan pasar uang karena permintaan uang juga naik. Naiknya permintaan uang ini menjadi penyebab naiknya tingkat bunga dan turunnya investasi sehingga income masyarakat ikut turun. Teori tersebut menjadi pengantar dari cerita yang akan saya tulis, lumayan sambil nunggu shubuh, jadi jangan ngantuk dulu ya..karena ceritanya masih panjang, hehe.
Saya bersyukur mendapatkan kesempatan libur untuk berlebaran di kampung halaman lebih awal, selasa sore (15 September) praktis saya sudah di rumah. Pulang kampung terakhir saya lakukan lebaran tahun lalu. Banyak sekali perbedaan dan kemajuan yang saya temui antara lain Garuda sudah masuk Malang, begitu mendarat di Bandara Abdurrahman Shaleh (BAS) suasana di airport yang kecil dan sederhana tersebut telah padat oleh penumpang, taksi dengan jumlah armada yang cukup juga sudah ada meski hanya oleh satu operator, rencana bandara internasional malang cukup megah berlokasi tak jauh dari BAS dan pembangunannya sudah mencapai 90%, konon katanya siap beroperasi menjadi bandara sipil Malang menggantikan BAS di awal 2010. Disepanjang karanglo, karangploso, dan menuju Batu kanan-kiri jalan sudah dipadati dengan pembangunan perumahan dan pertokoan baru. Perang papan reklame resto, hotel dan vila mengindikasikan kalo bisnis tersebut hari-hari ini sedang banyak diminati oleh investor. Malang-Batu dikenal sebagai kota pendidikan dan pariwisata, seperti Bogor dan Bandungnya warga Jakarta, jadi wajar jika perdagangan, hotel, dan restoran menjamur untuk menopang sektor pariwisata di wilayah itu.
Itu baru pinggiran Malang-nya karena hingga menulis ini saya belum main ke Kota Malang, tapi dari pengalaman saya tahun lalu saja Malang pada hari-hari itu dah mirip Jakarta, tiap gang ada mall atau paling nggak ruko satu lantai dengan minimal tiga unit, semuanya ramai oleh pengunjung dan mudah-mudahan oleh pembeli juga. Properti disana juga lagi sumringah meski sempat lesu karena terimbas krisis global. Tapi kembali lagi itupun kalo boleh disebut sebagai kemajuan, karena yang dilihat hanya penampakan luarnya saja. Kemajuan ekonomi dari konsumsi masyarakat yang terus tumbuh hingga kisaran 6 persenan saya percaya tapi apakah ini akan berlangsung secara berkelanjutan? Mudah-mudahan. Namun demikian mengandalkan konsumsi bukan pilihan tepat, selain itu kata Todaro dan Samuelson, pertumbuhan saja tidak cukup, masih tersisa tiga syarat mutlak lainnya yang musti dipenuhi yakni pemerataan, kemandirian, dan kelestarian. Tiga hal ini yang saya belum lihat, tapi saya tidak akan mengupasnya disini, insya Allah di tulisan berikutnya.
Hal lain, pulang kampung mengingatkan saya kembali kepada bencana lumpur lapindo. Bencana tersebut merupakan tamparan keras bagi ekonomi Jawa Timur (Jatim), betapa tidak bencana tersebut terjadi di jantung ekonominya, yakni Sidoarjo, penyumbang terbesar pendapatan Provinsi Jatim melalui industrinya, ratusan pabrik mulai dari makanan, pakaian, furnitur, logam, kerajinan, hingga perabotan rumah tangga tenggelam. Selain pabrik, lumpur juga menenggelamkan pekarangan, sawah, kampung, serta tempat bergantungnya warga Sidoarjo, ratusan ribu buruh dan penggiat ekonomi informal lainnya seperti tukang ojek, warung nasi, penjual bakso, hingga kontrakan rumah. Lumpur juga merusak jalan tol dan rel kereta yang selama ini menggerakkan roda perekonomian Jatim. Ribuan usaha mikro, kecil, dan menengah juga ikut kolaps.
Malang bersama-sama dengan Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan adalah kota penyangga perekonomian di Jawa Timur, timpangnya Sidoarjo berakibat buruk terhadap kota penyangga lainnya. Berlarut-larutnya dan tidakadanya keseriusan pihak Lapindo Brantas maupun pemerintah untuk menangani lumpur lapindo sejak tahun 2006 lalu praktis membuat rantai kehidupan dan kegiatan ekonomi masyarakat Jawa Timur terganggu. Mimpi masa depan Jatim yang gemilang tenggelam bersama derasnya lumpur yang mengalir. Satu tandatanya diantara tandatanya yang lain, jika pemerintah sanggup menerbitkan Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (RUU JPSK) untuk mengantisipasi dampak krisis global yang dikawatirkan akan menyebabkan dampak sistemik, kenapa tidak dengan kasus krisis yang dihadapi oleh warga Jatim yang nyata-nyata berdampak sistemik bagi bagi ekonomi Jatim?
Apakah dampak multidimensi dan menyangkut nasib masyarakat Jatim yang diakibatkan dari bencana lumpur tidak termasuk dalam kategori berdampak sistemik dan ancaman bagi ekonomi nasional? Jika memang pemikiran pemerintah pusat masih demikian, mestinya Jawa Timur harus mulai berhitung, tiga tahun bukan waktu yang pendek jika Century hanya perlu waktu sekian minggu untuk mendapatkan sekian triliun. Mental KKN yang menjadi semangat dari penyusunan RUU JPSK menjadikan negara sebagai lembaga penanggungjawab kebangkrutan individu, itulah intisari dari RUU JPSK dan (mungkin) RUU lainnya. Jika UU ini digolkan tanpa ada revisi mendasar maka kita telah membiarkan peristiwa legalisasi pencurian uang Negara oleh maling berkedok penguasa berlangsung di depan mata, tinggal menunggu waktu kapan Republik yang sudah dibangun dengan susah payah ini akan bangkrut. Citra penguasa bobrok dan tidak amanah yang semakin tinggi ini akan berdampak pada melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang akan membawa dampak multidimensi pada krisis-krisis yang lain. Penurunan dampak investasi yang diakibatkan oleh mental KKN, alokasi dana negara yang besar untuk memperkaya individu atau kelompok, ini yang saya maksudkan sebagai crowding out!
Namun saya salut, warga Jatim dikenal dengan semangat dan kerjakerasnya, dengan demikian tidak bertanggungjawabnya Lapindo dan tidak tegasnya pemerintah pusat tidak membuat daerah berputus asa, Malang salah satunya yang menjawab kemandegan tersebut dengan membuka akses bandara militernya untuk penerbangan sipil. Akses baru ini sekaligus menggerakkan ekonomi kabupaten disekitarnya termasuk di wilayah tapal kuda yakni pasuruan, probolinggo, lumajang, jember, dan bondowoso. Tetap berharap moga dengan adanya bencana di Sidoarjo menjadi motivasi untuk tumbuhnya pusat-pusat ekonomi baru di Jatim. Tetap semangat rek!
* Perenungan di penghujung ramadhan, moga membawa manfaat dan efek berantai untuk membangun kepedulian massal terhadap bencana lapindo a.k.a. lumpur bakrie
<< Home