Demand Pull Inflation
Ramadhan telah memasuki hari keenambelas, Nuzulul Quran sudah di depan mata tapi masih separo perjalanan lagi ujian yang musti ditempuh untuk menuju hari kemenangan. Namun saya tidak akan mengupas aspek spiritualitas di sini - selain karena bukan ahlinya - saya hanya ingin menulis fenomena yang menurut saya tidak unik karena senantiasa ada tapi selalu saja bikin heboh. Heboh karena masyarakat selalu mengeluh tentang kenaikan harga gula yang sebelumnya hanya Rp 7500 dalam hitungan hari sudah menyentuh Rp 12.000an. Demikian juga harga-harga pokok lainnya seperti cabe, telur, daging, gula, minyak goreng, beras dll tapi tidak menyurutkan semangat mereka untuk terus berbelanja dengan skala yang beberapa kali lipat lebih besar dari belanja yang biasa mereka lakukan.
Tapi memang puasa kali ini agak khusus karena bertepatan dengan akan segera dilantiknya anggota DPR terpilih dan berakhirnya periode pemerintahan SBY-JK. Desas-desus tentang nama-nama yang dipanggil ke Cikeas dengan bungkus buka bersama dan pertemuan-pertemuan politik lainnya menambah hangat suasana. Perpindahan kekuasaan dari pemerintahan lama ke yang baru umumnya dimaknai oleh masyarakat sebagai situasi yang tidak stabil dan potensi menimbulkan konflik. Ditambah lagi bencana gempa bumi Tasikmalaya yang terjadi awal pekan lalu. Jadi dugaan saya motif belanja masyarakat yang agak gila-gilaan kali ini sebenernya gabungan dari motif menimbun dan berjaga-jaga, semangat berbagi di bulan puasa, dan persiapan lebaran.
Pengamatan saya minggu lalu, di mall deket rumah, panjang antrian di kasir dengan kereta belanjaan yang menggunung rata-rata mencapai tujuh sampai sepuluh meteran, duhduh lumayan bikin lemes. Saya yang waktu itu termasuk dalam antrian musti sedikit bersabar menunggu ibu-ibu di depan saya untuk menyelesaikan transaksinya. Rata-rata nilai transaksi masing-masing dari tiga ibu-ibu yang antri di depan saya mencapai hampir dua jutaan rupiah dengan jenis belanja makanan, bahan pokok, sirop, berbagai jajanan, dan biskuit kaleng dengan minimal kelipatan empat pada masing-masing itemnya. Berlama-lama di mall padet kepala jadi nyut-nyutan juga.
Dugaan saya memasuki pertengahan ramadhan ini semangat belanjanya sudah lebaran. Mall dan pasar-pasar yang ada dipenjuru Jakarta dan nusantara saya yakini telah sepuluh kali lebih padat dan penuh sesak. Dulu waktu tahun pertama berada di Jakarta, sempat heran melihat lautan manusia di kawasan Blok M, hehe saya pikir ada apa ternyata mereka berbondong-bondong untuk berbelanja lebaran. Semangat berbagi di bulan ramadhan dan spirit baru pada hari kemenangan memotivasi mereka untuk menyerbu penjuru pasar dan mall.
Mungkin satu-satunya sisi positif dari semangat berbagi yang dimaknai dengan bersedekah sembako adalah raut riang yang dirasakan segelintir masyarakat lapisan bawah seperti Mbok Tinah, tukang urut langganan yang sengaja saya panggil jauh-jauh dari Citayem. Dengan lugu si-mbok bercerita “Alhamdulillah, puasa sekarang dapet sembako dari lengganan lumayan banyak jadi nggak perlu belanja sampai lebaran nanti” begitu jawabnya lugu ketika saya tanya “gimana mbok harga gula mahal tuh?”
Kembali ke peristiwa kenaikan harga. Salah satu teman di Facebook mengomentari status yang saya tulis minggu lalu tentang kenaikan harga-harga sebagai akibat dari nafsu ibu-ibu mengumpulkan bahan pokok yang sangat berlebihan. Senada dengan komentarnya, dalam ilmu ekonomi fenomena tersebut dinamai sebagai demand pull inflation yakni fenomena ekonomi yang terjadi karena adanya permintaan terhadap barang dan jasa secara berlebihan. Berlebihnya permintaan mengakibatkan perubahan pada tingkat harga hingga kelipatan tertentu tergantung kondisi dan lingkungan yang menyertainya, bisa jadi parah sekali. Saya nggak tau nama yang mengiringi fenomena itu munculnya kapan yang pasti sudah lama sekali. Tapi untuk kasus sekarang, fenomena ini tidak unpredictable karena peristiwanya rutin, kejadian berlangsung tiap tahun.
Berita resmi BPS tentang inflasi bulan ini barusan saya cek di webnya BPS belum keluar jadi saya tidak tau pasti berapa tepatnya tingkat inflasi yang terjadi,lebih tinggi dari tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya ataukah sama, temen-temen kalo ada bocoran please feel free nambahin. Sekedar untuk persandingan, jika pemerintah menggunakan asumsi tingkat inflasi yang sama dengan tahun lalu pada bulan yang sama (bulan puasa-lebaran) dan tingkat perubahan harga yang terjadi tidak terlalu jauh maka idealnya pasokan barang yang konon katanya cukup di pasaran nggak bikin masyarakat semenderita ini. Gimana nggak, untuk pegawai dan buruh yang pendapatannya cenderung tetap sudah pasti sangat dirugikan dan paling terdampak oleh inflasi.
Instrumen moneter dengan mengendalikan jumlah uang yang beredar dan menaikkan suku bunga nggak mungkin dilakukan karena sudah terlanjur dikapling untuk mendongkrak sektor riil dalam rangka mengantisipasi kriris global yang nyata-nyata masih terus merongrong. Satu-satunya harapan melalui operasi pasar yang dijanjikan akan mampu menurunkan harga-harga. Janji-janji pemadam kebakaran. Masyarakat boleh berharap moga cukup dan sesuai dengan skala kebakaran yang mau dipadamkan.
Namun tradisi puasa dan jelang lebaran yang menuntut masyarakat terus berbelanja musti dilanjutkan, menunggu pasar murah kelamaan, pilihannya apalagi kalo tidak berhutang atau antri di pegadaian. Masyarakat kota memaknainya dengan menggesekkan kartu kreditnya seoptimal mungkin, adapun masyarakat desa dengan menggadaikan barang apapun yang bisa digadaikan, termasuk panci sekalipun. Kredit yang konsumtif apakah pilihan yang bijak? Pemerintah sih tidak mau ambil pusing, mereka hanya mengacu pada indikator makro, sejauh konsumsi masyarakat naik maka sharenya terhadap pertumbuhan ekonomi akan semakin besar. Oya konsumsi masyarakat yang naik juga dimaknai sebagai membaiknya ekonomi masyarakat. Jrengjreng, naiklah pamor pemerintah dengan klaim pencapaian-pencapaiannya.
Ibu-ibu tetap semangat ya, maksudnya semangat ngatur pengeluaran dan bukannya semangat berbelanja, hehe..
<< Home