Tulisan ini diinspirasi dari beberapa potongan diskusi saya bersama-sama dengan rekan kerja beberapa minggu ini dan ketika makan soto di satu resto besar yang konon katanya cukup kondang di pusat Kota Jogjakarta.
Ya, cerita di balik makan soto ini layak untuk diangkat mengingat hari-hari ini ‘rasa’ sudah tak begitu penting lagi.
Saya dan rekan yang lain terkesan karena rasa sotonya yang nggak biasa dengan penampilan super apa adanya. Sesaat sebelum makan soto-pun jujur tak begitu bersemangat selain berharap lapar terbayar-tak lebih. Tapi begitu merasakan sendok pertama, tak berselang lama, tau-tau sudah ada yang minta nambah mangkok kedua, hehe. Meski saya nggak nambah tapi mangkok saya bersih..jarang2 lho :) Selain itu saya juga nambah teh manis anget dengan gelas besar, karena enak dan wangi.
Keluar dari resto yang tergolong besar tersebut (tapi sepi, meski waktu itu jam telah menunjukkan jam makan malam dan yang berkunjung hanya saya dan teman2) saya lihat ada papan nama besar di sisi samping pelataran parkir “joyo ono ing roso” saya coba tanyakan maknanya kepada team leader kami yang kebetulan akrab dengan jogja, dan kata beliau “mungkin dahulu pernah berjaya dalam rasa”.
Saya jadi mikir dan mengira-ngira, mungkin saja dahulu resto tersebut cukup ramai karena memang rasa sotonya yang luar biasa, oya resto yang kami kunjungi itu cabang dari resto utama yang ada diseberangnya yang tak kalah besar namun sama-sama sepi. Ini bukan asal mengira-ngira..paling nggak saya bisa lihat sisa-sisa kejayaannya di masa lalu :). Manajemen yang tradisional mungkin saja sangat percaya diri dan berkeyakinan bahwa rasa soto yang tak ada duanya saja cukup dan mengabaikan aspek yang lain termasuk tampilan diyakini tak akan menurunkan peminat soto di kota itu. Kepercayaan diri manajemen tersebut rupanya tak terbukti karena ternyata rasa saja tidak cukup.
Nah, lantas apa hubungannya dengan eksternalitas?
Soal rasa dan ekternalitas ini mendadak muncul dan mengganggu pikiran saya ketika dalam satu obrolan disinggung tentang modus kegiatan sosial baru yang sekarang tengah banyak digandrungi oleh perusahaan-perusahaan besar dengan membentuk lembaga sosial internal di perusahaan mereka semacam Si A Peduli untuk perusahaan si A, Si B Peduli untuk perusahaan si B, dst.. lantas menggalang dana dari masyarakat dan dalam penyalurannya dengan menempel logo perusahaan besar-besar bahkan mengundang banyak wartawan lantas melakukan klaim sebagai bentuk kepedulian perusahaan sekaligus sebagai kewajiban CSR mereka kepada masyarakat. Yap, harum semerbak nama perusahaan tanpa keluar dana sepeserpun...
Mengemas dan menjual (atau memanipulasi?) “rasa” dan kepedulian masyarakat dengan sedemikian rupa dan sangat cantik, terbukti menjadikan dagangan “rasa” dan “peduli” ini laris manis dan berhasil mengeruk dana miliaran rupiah dari masyarakat. Lantas apakah ini “rasa” yang dimaksudkan sebagai “joyo ono ing roso”? Rasa memang bukan segalanya tapi ketika bicara tentang kepedulian bukankah selayaknya atas nama rasa? rasa yang asli dan bukan fake. Lantas apakah namanya ketika rasa sudah tidak mendasari nurani manusia di republik ini? Eksternalitas negatif dari industri marginalisasi rasa? Jika ya, mahal sekali harga yang harus kita bayar...
Lumayan, daripada nggak sama sekali ??
Ah, mendadak males meneruskan...
<< Home